Sosok
laki – laki itu terlihat lagi di koridor sekolah. Berkali – kali sudah aku
melihatnya disini. Rasanya wajah itu sudah tak asing bagiku, tapi aku benar –
benar lupa pernah melihatnya dimana. Ugh! Seharusnya jam segini tidak ada siswa
yang boleh berkeliaran. Aku sebagai guru bimbingan konseling baru disini merasa
harus mengambil tindakan.
Siswa
itu tetap diam tak bergeming.
“Hey!”
Kataku
sekali lagi sambil melangkahkan kaki mendekatinya. Namun tiba – tiba suara Pak
Narko mengagetkanku,
“Nak
Resti ngapain ada disini jam segini? Ini jam dua belas tepat loh!”
“Ya
ampun Pak, saya sebagai guru konseling kan juga punya kewajiban untuk patroli
keliling sekolah. Ini buktinya ada murid yang....”
Omonganku
terhenti, tenggorokanku tercekat. Lagi – lagi seperti ini. Anak itu tiba – tiba
sudah tidak ada lagi dihadapanku. Betapa cepatnya ia melarikan diri. Harus
segera ditindaklanjuti ini!
“Maaf
Nak, ada apa? Tadi mau bilang apa ya?”
“Oh
tidak jadi Pak. Hmm, Bapak sering lewat sini jam segini?”
“Karena
saya liat Nak Resti ada disini makanya saya kesini. Saya hanya mau memperingatkan,
hati – hati berjalan di lorong ini. Lorong ini angker.”
Persingkat
saja percakapan ini. Intinya Pak Narko tidak pernah melihat siswa nongkrong
disini. Hmm, siswa yang menarik. Pikirku. Baiklah kita cari didaftar siswa, apa
ada yang seperti dia. Wahai siswaku, kamu tidak akan bisa menghindar lagi
sekarang.
Keesokan
harinya.
“Ugh,
ngantuk.”
“Ya
ampun Bu Resti, ini masih pagi loh. Jiwa muda seharusnya tidak cepat merasa
ngantuk. Kamu seharusnya bisa menjadi contoh bagi siswa bukannya seperti ini,
kamu itu guru baru harusnya....”
Cerocosan
pak kepsek membuat telingaku serasa berasap. Beliau hobby sekali
menceramahi siswa, guru sepertikupun tak luput dari ceramahnya itu. Oke, yang
pertama memang benar aku guru baru, masih muda tapi aku bukan anak – anak lagi
yang perlu diceramahi. Yang kedua, hanya kepsek ini yang memanggilku ‘ibu’.
Lancang sekali! Upst, maaf. Hmm, lagipula aku ngantuk seperti ini juga karena
kewajibanku. Huh!
Pada
pukul yang sama seperti sebelum – sebelumnya, aku datang lagi ke koridor.
Berharap menemukan siswa misterius itu. Enak saja dia main nongkrong –
nongkrongan seperti itu.
Saat
ini sudah pukul 12.10, tapi siswa itu belum muncul juga. Biasanya sudah ada dia
disini. Atau dia takut sudah ketahuan olehku kemarin. Ahh, baguslah aku tidak
mau orang seperti dia mengganggu ketenangan sekolah ini.
“Ibu
mencari saya?”
Hmpf?!
Suara itu mengejutkanku. Rasanya aku pernah mendengar suara itu. Aku menoleh
perlahan. Yang benar saja, dia berada tepat dihadapanku. Berani sekali anak
ini!
“Padahal
aku sudah senang kamu tidak berada di lorong ini lagi. Kamu siswa sekolah lain
kan? Ayo cepat jawab!”
“Saya
bersekolah disini Bu.”
Sedikit
tersinggung, aku baru sadar dia sedari tadi memanggilku ‘ibu’.
“Tapi
namamu tidak ada didaftar siswa Dik. Dan satu lagi, semua siswa disekolah ini
memanggilku kakak bukan ibu, seharusnya kamu tahu itu kalau kamu memang bersekolah
disini.”
Anak
itu terdiam. Wajahnya pucat, matanya seperti tak bercahaya. Hatiku melunak.
“Apa
kamu ada masalah? Kamu bisa cerita pada saya kalau kamu mau.”
Anak
itu menggeleng, kemudian melangkah pergi.
“Eh?!
Hey!!”
“Tenang
saja, Kakak tidak akan pernah melihat saya lagi di lorong ini.”
“Lho,
lho,, lah?! Ehh, tunggu!!”
Anak
itu terus saja berjalan. Aku menarik nafas panjang.
“Kapanpun
kamu mau cerita, saya akan ada di tempat ini setiap harinya pada jam yang
sama.”
Anak
itu menoleh sepintas, langkahnya terhenti. Tanpa menatap kearahku dia bertanya,
“Apa anda tidak takut berada di tempat angker ini? Dulu ada seorang siswa yang
tidak lulus ujian nasional bunuh diri di lorong koridor ini.”
Aku
tertegun, spontan aku menjawab, “Untuk apa takut. Banyak orang yang bilang
kalau arwah anak itu terus bergentayangan, tapi saya rasa jika arwah itu mau
bercerita, dia akan berhenti menjadi arwah gentayangan dan bisa kembali ke
dunia tempat seharusnya dia berada.”
“Maaf
saya belum bisa cerita hari ini.”
“Seperti
yang saya bilang tadi, saya akan ada disini setiap hari pada jam yang sama.”
Aku
kadang berfikir sendiri. Tubuhku ini sebenarnya kan otakku yang menggerakkan,
tapi kadang – kadang ada juga perilaku yang kulakukan bahkan tak terpikirkan
olehku sebelumnya. Ya seperti yang kukatakan hari ini. Bicara pada arwah? Lihat
saja belum pernah. Kalaupun suatu saat nanti ada arwah yang terlihat olehku,
apa aku berani? Ugh! Biarlah berjalan seperti yang sudah direncanakan.
Hampir
seminggu sudah aku tak melihat anak itu di lorong. Bagiku lorong ini tak
seperti yang dikatakan orang – orang. Lorong ini tidak angker, malah aku merasa
nyaman dan aman berada di tempat ini.
Hari
ini aku melihat bapak kepsek menaruh setangkai mawar putih di depan pintu masuk
ke lorong yang sering aku datangi tersebut. Tak bisa ku bendung bibirku untuk
tak bertanya,
“Ritual
apa ini Pak?” tanyaku sedikit bergurau.
Bapak
kepsek hanya membalas pertanyaanku dengan senyuman, beberapa saat kemudian
beliau kusyuk berdoa. Aku tertegun melihat senyuman itu. Penuh kesedihan. Aku
hanya diam saja, masih menunggu jawaban.
“Hari
ini peringatan enam tahun meninggalnya anak saya,” jawab pak kepsek kemudian.
“Owh,
maafkan saya Pak.”
“Tak
apa. Dia putra kebanggaan saya. Dia meninggal di lorong ini dengan cara
menggantung diri.”
Ahh?!
Brarti siswa yang dikatakan bunuh diri itu, anak pak kepsek? Ya Tuhan..
“Hanya
gara - gara tidak lulus ujian nasional.”
Air
mata pak kepsek berlinang. Akupun hampir meneteskan air mata. Orang yang selama
ini kulihat begitu tegar, ternyata menyimpan duka dalam hatinya.
“Dia
memang cerdas, tapi dia rapuh. Semenjak perceraian kami, dia selalu terlihat
murung. Namun dia tak pernah menampilkannya dihadapan saya.”
Aku
menyodorkan tissu.
“Pernah
aku lihat dia begitu bahagia. Ketika itu dia sedang jatuh cinta. Namun tak
seberapa lama terlihat murung lagi. Ternyata gadis itu pindah ke kota lain.
Kurasa gadis itu seumuran denganmu sekarang. Tapi anakku, sudah sejak enam
tahun yang lalu berhenti umurnya.”
Keheningan
menyergap kami. Dalam hati aku meminta pada Tuhan untuk menerima anak itu
disisiNya ditempat yang paling indah. Pak kepsek terlihat sibuk dengan
dompetnya. Kemudian ia menyodorkan sebuah photo padaku.
“Ini
anak saya.”
Aku
menarik nafas panjang untuk menyamarkan raut wajah terkejut berlebih yang
kutampilkan. Anak ini?!
“Maaf
Nak Resti, saya harus kembali ke ruangan saya.”
Aku
tersenyum, sedikit memaksa, “Anak anda akan baik – baik saja Pak dan saya
senang bapak memanggil saya dengan sebutan Nak.”
“Semalam
Indra mendatangi mimpi saya dan dia mengatakan begitu.”
Jam
dinding menunjukkan pukul 11.45, namun sudah sejak tadi pagi aku berada di
tempat ini. Dia harus datang. Indra harus menjelaskan semuanya! Sekarang aku
ingat siapa dia. Enam tahun lalu, aku memiliki seorang secret admirer.
Sehari sebelum pindah, aku mendapatkan photonya. Kami bersekolah di sekolah
yang berbeda, jadi aku tidak begitu hapal dengan wajahnya.
“Sekarang
aku sudah tau siapa kamu. Enam tahun kamu disini, untuk apa?”
“Aku
hanya ingin kamu tahu aku sudah tidak ada di dunia ini lagi dan aku ingin kamu
tahu, aku hanya seorang laki – laki yang rapuh.”
Suara
Indra menggema. Aku baru sadar, suara itu masih sama dengan suaranya enam tahun
lalu. Suara yang selalu mengajakku berbincang lewat telepon.
“Untuk
apa berkata begitu. Kau laki – laki yang kuat dan tepat janji. Akhirnya aku
benar bisa bertemu denganmu. Janji kita yang dulu, sudah kamu tepati Ndra.”
“Aku
pikir begitu. Awalnya aku pikir kamu lupa, tapi ternyata kamu masih ingat,
walaupun perasaanmu sudah tak seperti dulu lagi,” kata Indra sambil menampakkan
wujudnya.
“Maafkan
aku. Tapi aku harap kamu bisa tenang sekarang, agar ayahmu juga bisa tenang.”
“Ayahku
juga salah satu alasanku masih ada disini sekarang.”
“Maksudmu?”
“Malaikat
berkata padaku bahwa enam tahun setelah aku meninggal, ayah akan menyusulku
juga. Aku pikir lebih baik aku menunggunya, karena aku tahu dia kesepian dan
hidup sendiri. Bunda sudah punya keluarga baru dan dia punya mereka untuk
disayangi. Sedangkan aku dan ayah, hanya berdua.”
“Kamu
benci pada ibumu?”
“Tidak.”
“Baguslah!
Kalau begitu. Hmm, kamu benci padaku?”
Indra
tertawa, “Kamu masih seperti dulu Ti. Sama seperti cintaku padamu, masih
seperti yang dulu.”
Air
mataku berlinang mendengar perkataan Indra. Dia salah soal perasaanku yang
sudah lalu itu.
“Kamu
tau Ndra, first love never die and you’re my first love. Kamu pikir
apa yang kurasa saat ini? Orang yang kucintai ternyata sudah mendahuluiku.”
Indra
terlihat sedih, “Harusnya aku tidak melakukan hal itu dulu. Aku begitu bodoh!”
Suasana
menghening. Tak seberapa lama, terdengar hiruk pikuk di halaman sekolah. Kenapa
siswa disuruh berkumpul siang – siang begini ya?
“Waktuku
sudah tiba.”
“Kamu
sudah harus pergi?”
“Iya.
Resti, keinginanku yang terakhir, aku ingin kamu mengambil sebuah cincin yang
kutitipkan pada pak Narko. Cincin itu untukmu.”
“Kamu
bodoh sekali Ndra! Kenapa kamu titipkan? Kenapa kamu tak berikan langsung
padaku, dan tak usah mengakhiri hidupmu dengan cara bodoh seperti itu!!!”
Aku
tak kuasa untuk menahan kemarahan dan kesedihan yang kurasa. Dia terlalu muda
untuk mati enam tahun lalu. Terlalu muda, terlalu berbakat dan terlalu tampan.
Ash!
“Ya,
aku tahu itu,” jawabnya tenang.
Indra
melangkah mendekatiku, mencoba menggapai tanganku. Ehk?! Kok bisa. Indra yang
melihat ekspresi takjubku hanya tersenyum saja. Kemudian, ia memelukku.
Pelukannya dingin, tapi menenangkan. Dia bukan manusia lagi. Dia benar – benar
menungguku untuk kembali, sama seperti apa yang ia tulis disuratnya yang
terakhir. Perlahan namun pasti, tubuh dingin itu menghilang. Menghilang dalam
sunyi doa kusyuk para siswa. Lho?! Doa? Ada apa? Sesegera mungkin aku beranjak
meninggalkan koridor itu.
“Ada
apa pak Narko?” tanyaku setelah sampai di halaman sekolah. Pak Narko terlihat
berlinang air mata. Seketika aku tersadar dan teringat kata – kata Indra
barusan, “Pak, apa yang terjadi pada bapak kepala....”
Aku
tak sanggup melanjutkan perkataanku. Ya! Pak kepsek sudah menyusul anaknya, dia
sudah pergi, begitu pula Indra. Cincin yang ia titipkan, sudah ada ditanganku
sekarang. Cincin yang indah persembahan seorang pecinta sejati yang khilaf atas
keterpurukan sesaat.
Indra
tak sepenuhnya salah, namun juga tak boleh dibenarkan tindakannya. Dia salah
memilih bunuh diri untuk mengakhiri rasa malunya karena tidak lulus sekolah.
Kesalahannya membuat ayahnya menderita, dirinya menderita, dan akupun begitu.
Saat itu Indra lupa akan betapa besar cinta ayahnya padanya, ia juga mengira –
ngira sendiri bagaimana perasanku padanya.
“Ndra,
kamu tahu? I love you.”
Aku
menarik nafas panjang. Satu kalimat yang selalu ingin aku ucapkan sejak enam
tahun yang lalu. Walau awalnya aku sempat terlupa akan segala hal tentang
Indra.
Kadang
kita tak sadar, seseorang yang kita anggap tak peduli pada kita, yang terlihat
acuh pada kita, bisa saja ternyata malah dia yang mempunyai rasa cinta terbesar
untuk kita dalam hatinya.
۸___۸
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Aku tahu kamu memahami apa yang kamu ingin sampaikan dengan kata-kata. Aku tahu kamu orang baik dan tidak akan bersikap konyol dan kekanakan dengan berkomentar yang tidak sepantasnya. Aku percaya padamu, komentator.