Sabtu, 22 Januari 2011

SISWA MISTERIUS



Sosok laki – laki itu terlihat lagi di koridor sekolah. Berkali – kali sudah aku melihatnya disini. Rasanya wajah itu sudah tak asing bagiku, tapi aku benar – benar lupa pernah melihatnya dimana. Ugh! Seharusnya jam segini tidak ada siswa yang boleh berkeliaran. Aku sebagai guru bimbingan konseling baru disini merasa harus mengambil tindakan.



“Hey, seharusnya kamu ada di kelas bukan?”

Siswa itu tetap diam tak bergeming.
“Hey!”
Kataku sekali lagi sambil melangkahkan kaki mendekatinya. Namun tiba – tiba suara Pak Narko mengagetkanku,
“Nak Resti ngapain ada disini jam segini? Ini jam dua belas tepat loh!”
“Ya ampun Pak, saya sebagai guru konseling kan juga punya kewajiban untuk patroli keliling sekolah. Ini buktinya ada murid yang....”
Omonganku terhenti, tenggorokanku tercekat. Lagi – lagi seperti ini. Anak itu tiba – tiba sudah tidak ada lagi dihadapanku. Betapa cepatnya ia melarikan diri.  Harus segera ditindaklanjuti ini!
“Maaf Nak, ada apa? Tadi mau bilang apa ya?”
“Oh tidak jadi Pak. Hmm, Bapak sering lewat sini jam segini?”
“Karena saya liat Nak Resti ada disini makanya saya kesini. Saya hanya mau memperingatkan, hati – hati berjalan di lorong ini. Lorong ini angker.”
Persingkat saja percakapan ini. Intinya Pak Narko tidak pernah melihat siswa nongkrong disini. Hmm, siswa yang menarik. Pikirku. Baiklah kita cari didaftar siswa, apa ada yang seperti dia. Wahai siswaku, kamu tidak akan bisa menghindar lagi sekarang.
Keesokan harinya.
“Ugh, ngantuk.”
“Ya ampun Bu Resti, ini masih pagi loh. Jiwa muda seharusnya tidak cepat merasa ngantuk. Kamu seharusnya bisa menjadi contoh bagi siswa bukannya seperti ini, kamu itu guru baru harusnya....”
Cerocosan pak kepsek membuat telingaku serasa berasap. Beliau hobby sekali menceramahi siswa, guru sepertikupun tak luput dari ceramahnya itu. Oke, yang pertama memang benar aku guru baru, masih muda tapi aku bukan anak – anak lagi yang perlu diceramahi. Yang kedua, hanya kepsek ini yang memanggilku ‘ibu’. Lancang sekali! Upst, maaf. Hmm, lagipula aku ngantuk seperti ini juga karena kewajibanku. Huh!
Pada pukul yang sama seperti sebelum – sebelumnya, aku datang lagi ke koridor. Berharap menemukan siswa misterius itu. Enak saja dia main nongkrong – nongkrongan seperti itu.
Saat ini sudah pukul 12.10, tapi siswa itu belum muncul juga. Biasanya sudah ada dia disini. Atau dia takut sudah ketahuan olehku kemarin. Ahh, baguslah aku tidak mau orang seperti dia mengganggu ketenangan sekolah ini.
“Ibu mencari saya?”
Hmpf?! Suara itu mengejutkanku. Rasanya aku pernah mendengar suara itu. Aku menoleh perlahan. Yang benar saja, dia berada tepat dihadapanku. Berani sekali anak ini!
“Padahal aku sudah senang kamu tidak berada di lorong ini lagi. Kamu siswa sekolah lain kan? Ayo cepat jawab!”
“Saya bersekolah disini Bu.”
Sedikit tersinggung, aku baru sadar dia sedari tadi memanggilku ‘ibu’.
“Tapi namamu tidak ada didaftar siswa Dik. Dan satu lagi, semua siswa disekolah ini memanggilku kakak bukan ibu, seharusnya kamu tahu itu kalau kamu memang bersekolah disini.”
Anak itu terdiam. Wajahnya pucat, matanya seperti tak bercahaya. Hatiku melunak.
“Apa kamu ada masalah? Kamu bisa cerita pada saya kalau kamu mau.”
Anak itu menggeleng, kemudian melangkah pergi.
“Eh?! Hey!!”
“Tenang saja, Kakak tidak akan pernah melihat saya lagi di lorong ini.”
“Lho, lho,, lah?! Ehh, tunggu!!”
Anak itu terus saja berjalan. Aku menarik nafas panjang.
“Kapanpun kamu mau cerita, saya akan ada di tempat ini setiap harinya pada jam yang sama.”
Anak itu menoleh sepintas, langkahnya terhenti. Tanpa menatap kearahku dia bertanya, “Apa anda tidak takut berada di tempat angker ini? Dulu ada seorang siswa yang tidak lulus ujian nasional bunuh diri di lorong koridor ini.”
Aku tertegun, spontan aku menjawab, “Untuk apa takut. Banyak orang yang bilang kalau arwah anak itu terus bergentayangan, tapi saya rasa jika arwah itu mau bercerita, dia akan berhenti menjadi arwah gentayangan dan bisa kembali ke dunia tempat seharusnya dia berada.”
“Maaf saya belum bisa cerita hari ini.”
“Seperti yang saya bilang tadi, saya akan ada disini setiap hari pada jam yang sama.”
Aku kadang berfikir sendiri. Tubuhku ini sebenarnya kan otakku yang menggerakkan, tapi kadang – kadang ada juga perilaku yang kulakukan bahkan tak terpikirkan olehku sebelumnya. Ya seperti yang kukatakan hari ini. Bicara pada arwah? Lihat saja belum pernah. Kalaupun suatu saat nanti ada arwah yang terlihat olehku, apa aku berani? Ugh! Biarlah berjalan seperti yang sudah direncanakan.
Hampir seminggu sudah aku tak melihat anak itu di lorong. Bagiku lorong ini tak seperti yang dikatakan orang – orang. Lorong ini tidak angker, malah aku merasa nyaman dan aman berada di tempat ini.
Hari ini aku melihat bapak kepsek menaruh setangkai mawar putih di depan pintu masuk ke lorong yang sering aku datangi tersebut. Tak bisa ku bendung bibirku untuk tak bertanya,
“Ritual apa ini Pak?” tanyaku sedikit bergurau.
Bapak kepsek hanya membalas pertanyaanku dengan senyuman, beberapa saat kemudian beliau kusyuk berdoa. Aku tertegun melihat senyuman itu. Penuh kesedihan. Aku hanya diam saja, masih menunggu jawaban.
“Hari ini peringatan enam tahun meninggalnya anak saya,” jawab pak kepsek kemudian.
“Owh, maafkan saya Pak.”
“Tak apa. Dia putra kebanggaan saya. Dia meninggal di lorong ini dengan cara menggantung diri.”
Ahh?! Brarti siswa yang dikatakan bunuh diri itu, anak pak kepsek? Ya Tuhan..
“Hanya gara - gara tidak lulus ujian nasional.”
Air mata pak kepsek berlinang. Akupun hampir meneteskan air mata. Orang yang selama ini kulihat begitu tegar, ternyata menyimpan duka dalam hatinya.
“Dia memang cerdas, tapi dia rapuh. Semenjak perceraian kami, dia selalu terlihat murung. Namun dia tak pernah menampilkannya dihadapan saya.”
Aku menyodorkan tissu.
“Pernah aku lihat dia begitu bahagia. Ketika itu dia sedang jatuh cinta. Namun tak seberapa lama terlihat murung lagi. Ternyata gadis itu pindah ke kota lain. Kurasa gadis itu seumuran denganmu sekarang. Tapi anakku, sudah sejak enam tahun yang lalu berhenti umurnya.”
Keheningan menyergap kami. Dalam hati aku meminta pada Tuhan untuk menerima anak itu disisiNya ditempat yang paling indah. Pak kepsek terlihat sibuk dengan dompetnya. Kemudian ia menyodorkan sebuah photo padaku.
“Ini anak saya.”
Aku menarik nafas panjang untuk menyamarkan raut wajah terkejut berlebih yang kutampilkan. Anak ini?!
“Maaf Nak Resti, saya harus kembali ke ruangan saya.”
Aku tersenyum, sedikit memaksa, “Anak anda akan baik – baik saja Pak dan saya senang bapak memanggil saya dengan sebutan Nak.”
“Semalam Indra mendatangi mimpi saya dan dia mengatakan begitu.”
Jam dinding menunjukkan pukul 11.45, namun sudah sejak tadi pagi aku berada di tempat ini. Dia harus datang. Indra harus menjelaskan semuanya! Sekarang aku ingat siapa dia. Enam tahun lalu, aku memiliki seorang secret admirer. Sehari sebelum pindah, aku mendapatkan photonya. Kami bersekolah di sekolah yang berbeda, jadi aku tidak begitu hapal dengan wajahnya.
“Sekarang aku sudah tau siapa kamu. Enam tahun kamu disini, untuk apa?”
“Aku hanya ingin kamu tahu aku sudah tidak ada di dunia ini lagi dan aku ingin kamu tahu, aku hanya seorang laki – laki yang rapuh.”
Suara Indra menggema. Aku baru sadar, suara itu masih sama dengan suaranya enam tahun lalu. Suara yang selalu mengajakku berbincang lewat telepon.
“Untuk apa berkata begitu. Kau laki – laki yang kuat dan tepat janji. Akhirnya aku benar bisa bertemu denganmu. Janji kita yang dulu, sudah kamu tepati Ndra.”
“Aku pikir begitu. Awalnya aku pikir kamu lupa, tapi ternyata kamu masih ingat, walaupun perasaanmu sudah tak seperti dulu lagi,” kata Indra sambil menampakkan wujudnya.
“Maafkan aku. Tapi aku harap kamu bisa tenang sekarang, agar ayahmu juga bisa tenang.”
“Ayahku juga salah satu alasanku masih ada disini sekarang.”
“Maksudmu?”
“Malaikat berkata padaku bahwa enam tahun setelah aku meninggal, ayah akan menyusulku juga. Aku pikir lebih baik aku menunggunya, karena aku tahu dia kesepian dan hidup sendiri. Bunda sudah punya keluarga baru dan dia punya mereka untuk disayangi. Sedangkan aku dan ayah, hanya berdua.”
“Kamu benci pada ibumu?”
“Tidak.”
“Baguslah! Kalau begitu. Hmm, kamu benci padaku?”
Indra tertawa, “Kamu masih seperti dulu Ti. Sama seperti cintaku padamu, masih seperti yang dulu.”
Air mataku berlinang mendengar perkataan Indra. Dia salah soal perasaanku yang sudah lalu itu.
“Kamu tau Ndra, first love never die and you’re my first love. Kamu pikir apa yang kurasa saat ini? Orang yang kucintai ternyata sudah mendahuluiku.”
Indra terlihat sedih, “Harusnya aku tidak melakukan hal itu dulu. Aku begitu bodoh!”
Suasana menghening. Tak seberapa lama, terdengar hiruk pikuk di halaman sekolah. Kenapa siswa disuruh berkumpul siang – siang begini ya?
“Waktuku sudah tiba.”
“Kamu sudah harus pergi?”
“Iya. Resti, keinginanku yang terakhir, aku ingin kamu mengambil sebuah cincin yang kutitipkan pada pak Narko. Cincin itu untukmu.”
“Kamu bodoh sekali Ndra! Kenapa kamu titipkan? Kenapa kamu tak berikan langsung padaku, dan tak usah mengakhiri hidupmu dengan cara bodoh seperti itu!!!”
Aku tak kuasa untuk menahan kemarahan dan kesedihan yang kurasa. Dia terlalu muda untuk mati enam tahun lalu. Terlalu muda, terlalu berbakat dan terlalu tampan. Ash!
“Ya, aku tahu itu,” jawabnya tenang.
Indra melangkah mendekatiku, mencoba menggapai tanganku. Ehk?! Kok bisa. Indra yang melihat ekspresi takjubku hanya tersenyum saja. Kemudian, ia memelukku. Pelukannya dingin, tapi menenangkan. Dia bukan manusia lagi. Dia benar – benar menungguku untuk kembali, sama seperti apa yang ia tulis disuratnya yang terakhir. Perlahan namun pasti, tubuh dingin itu menghilang. Menghilang dalam sunyi doa kusyuk para siswa. Lho?! Doa? Ada apa? Sesegera mungkin aku beranjak meninggalkan koridor itu.
“Ada apa pak Narko?” tanyaku setelah sampai di halaman sekolah. Pak Narko terlihat berlinang air mata. Seketika aku tersadar dan teringat kata – kata Indra barusan, “Pak, apa yang terjadi pada bapak kepala....”
Aku tak sanggup melanjutkan perkataanku. Ya! Pak kepsek sudah menyusul anaknya, dia sudah pergi, begitu pula Indra. Cincin yang ia titipkan, sudah ada ditanganku sekarang. Cincin yang indah persembahan seorang pecinta sejati yang khilaf atas keterpurukan sesaat.
Indra tak sepenuhnya salah, namun juga tak boleh dibenarkan tindakannya. Dia salah memilih bunuh diri untuk mengakhiri rasa malunya karena tidak lulus sekolah. Kesalahannya membuat ayahnya menderita, dirinya menderita, dan akupun begitu. Saat itu Indra lupa akan betapa besar cinta ayahnya padanya, ia juga mengira – ngira sendiri bagaimana perasanku padanya.
“Ndra, kamu tahu? I love you.”
Aku menarik nafas panjang. Satu kalimat yang selalu ingin aku ucapkan sejak enam tahun yang lalu. Walau awalnya aku sempat terlupa akan segala hal tentang Indra.
Kadang kita tak sadar, seseorang yang kita anggap tak peduli pada kita, yang terlihat acuh pada kita, bisa saja ternyata malah dia yang mempunyai rasa cinta terbesar untuk kita dalam hatinya.


۸___۸
2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tahu kamu memahami apa yang kamu ingin sampaikan dengan kata-kata. Aku tahu kamu orang baik dan tidak akan bersikap konyol dan kekanakan dengan berkomentar yang tidak sepantasnya. Aku percaya padamu, komentator.