Kamis, 20 Januari 2011

Our Story : Kambing dan Domba (tamat)


Mungkin sebagian orang akan menganggap aku konyol, bodoh  atau apapun jika dengan lantang aku katakan AKU SANGAT SUKA MENJALANI OSPEK! Hap! Sungguh aku suka! Aku senang! Dan aku menikmatinya. Walaupun diawal hari aku hampir putus asa dan, hmm...lebih baik aku membayar lebih daripada ikut OSPEK begini. Orang dari kota kecil sepertiku, buta akan gemerlap dan hingar bingar kota besar, tidak tahu arah dan sebatang kara di kota yang besar ini. Ikut OSPEK. Harus membeli banyak perlengkapan yang tentu saja aku tidak tahu harus membeli dimana dan sungguh!, aku tidak tahu jalan. Aku hanya tahu Ramayana dan Matahari, itupun lupa-lupa ingat. Hupf! Sesungguhnya aku sempat merasa kesusahan dan putus asa. Untung keluarga menyemangatiku.



Menyenangkan sekali. Aku menemukan kehidupan yang benar-benar baru. Orang-orang baru. Berbeda keyakinan, kontur wajah, logat bicara dan lain sebagainya. Hal baru ini membuatku terlonjak kegirangan. Seorang senior, menunjukkan kebaikannya padaku, entah tulus atau tidak. Sepanjang OSPEK Fakultas dia adalah pangeranku, dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa bagiku. Senyum. Aku tersenyum mengenangnya. Dan aku menyerahkan setangkai mawar untuknya diakhir acara.


“Ini buat Kakak.”


Aku berkata dengan sedikit perasaan ganjil. Ini menggelikan. Tindakan yang baru pertama kali kulakukan. Keberanian yang gila! Seniorku itu, membawa bunga itu terus sampai akhir acara dan hatiku senang sekali rasanya. Pertemuan ini, rasa ini, aku merasa DEJAVU!! Ahh, tapi ternyata semuanya adalah Precognition Dream. Mimpi yang jadi kenyataan. Ramalan masa depan di dalam mimpi. Dan aku benar mengalaminya. Seru!
Hhh... 
Tidak banyak yang tahu, aku merasa, aku hanyalah gadis dari kota kecil. Gadis yang hanya memiliki seuprit kepercayaan diri dan menganggap diri tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka, orang-orang kota. Keyakinan konyol! Tapi tenang saja. Kehidupan sudah merubah segalanya.


Lewat dari masa perOSPEKan, lewat sudah kebanggaanku akan kehidupan yang baru. Benar! Semakin kita mendalami sesuatu, semakin kita mengenalnya, semakin terlihat jelas belangnya. Tidak sempurna! Itu yang kudapat. Kehidupan tidak ada yang sempurna. Kebaikan yang pamrih, gemerlap ibu kota dan gemerlap malam hari di kota besar ini, permasalahan yang lebay dan konyol. Menyedihkan. Aku sadari sekarang apa yang dinamakan kehidupan yang kejam. Ya! Hidup itu kejam! Dia menaikkanmu ke langit dan dengan segera menghempaskanmu ke bumi. Tapi karena itulah aku tersadar, dan jadi banyak mempelajari hal-hal baru serta cara menanggulanginya. Aku merasa tingkat kedewasaanku sudah naik satu atau bahkan beberapa tingkat. Dan aku sudah mendobrak zona nyamanku yang manja. Sedikit demi sedikit makin berkembang.


Hhh...


Entah kapan, aku lupa. Aku meminta anak itu, Si Domba, untuk menjadi temanku di salah satu akun jejaring sosial. Tidak ada niat apapun. Hanya berteman. Rasa ingin tahu yang wajar. Mati rasa yang normal. Tidak ada rasa berdebar. Tidak ada perasaan was-was berkomunikasi dengannya. Tanpa rasa. Hanya kenangan waktu dia mengelus puncak kepalaku. Itu teringat dan menyesakkan dada lagi. Ini sungguh konyol! Hentikanlah kebodohan-kebodohan ini!


Waktu berlalu, berlalu dan berlalu begitu saja. Tidak ada yang istimewa, lagipula dia kan masih pacaran sama teman satu angkatannya itu. Dan aku sama sekali tidak mau menjadi batu sandungan, atau orang ketiga. Aku orang malang yang selalu dikatakan sebagai orang ketiga, padahal tidak melakukan apapun. Aku.. Hhh.. Nista sekali hidup ini. Cinta yang bodoh!
Hingga akhirnya suatu waktu, aku tidak ingat kapan dan karena apa. Dia meminta nomor hapeku. Saat itu dia sudah mengganti statusnya menjadi lajang. Hhh.. Berlanjutlah lagi. Harapan mati. Yang sudah padam. Hidup lagi! Tapi tidak segemerlap sebelumnya. Tidak setiap hari sih, tapi kami intens berkomunikasi lewat alat elektronik dan akun jejaring sosial. Dan akhirnya aku bisa mendengar bunyi SMS dari orang lain selain teman-teman dan keluargaku. Pesan-pesan singkat yang nyaris tidak penting. Arah kehidupan berbelok sekali lagi.


Aku menerima pesan singkat darinya dengan hati kosong. Tidak ada rasa senang. Tidak ada rasa sedih. Tidak ada kebanggaan ataupun kesakitan. Lempem. Apa rasa yang kemaren aku bilang sayang sudah sirna? Entahlah aku juga tidak tahu. Tapi, hmm...aku sudah berusaha mendekatkan diri. Aku, orang yang paling tidak pedulian sedunia ini, tiba-tiba menjadi sosok aneh yang sok care, layaknya gadis-gadis pada umumnya. Hhh...tindakan itu membuatku ingin muntah sendiri. Tapi aku hanya berusaha. Kata orang-orang jika kamu mau menggapai sesuatu, berusahalah! Apalagi cinta! Harus diperjuangkan! Katanya sih gitu. Di memoryku dia dulu adalah orang yang spesial. Aku bertanya pada hatiku, “Bagaimana rasa itu? Apa yang kamu rasa saat ini?” Tapi tidak pernah ada jawaban. Hatiku gamang melangkah.


Pernah dia menulis di akun jejaring sosialnya bahwa sesuatu yang ingin dia gapai berdiri terlalu tinggi, dan susah digapai. Status ini menarik perhatianku. Waktu itu aku sedang dalam perjalanan survey tempat tinggal untuk KKN nanti. Siapa yang terlalu tinggi untuk digapai? Dengan GeeRnya aku berfikir, hah! Aku? Diriku kah? Yang susah digapai? Asem! Lalu aku komen, ehem...“Kenapa tidak coba diraih?”.. Hhh... Karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan makanya aku tidak ingat apa lagi kelanjutan komen yang ada.


“Lupakanlah! Lupakan semuanya dan tutup buku itu,” seorang temanku mewanti-wantikan.


“Majulah ke depan dan tatap yang ada di depanmu! Jangan kembali dan menghadap ke belakang terus. Banyak hal di depan sana yang sudah menunggumu. Kalau pikiranmu hanya berkutat pada itu-itu saja, kamu tidak akan berkembang. Itu loh, KKN nanti coba buka hati. Coba lihat ke sekelilingmu! Pokoknya kalo dapet pacar disana apalagi cakep dan baik hati, why not??”


Aku tertawa mendengarnya menggebu-gebu mengatakan hal itu. Ya! Cerita yang tidak pasti ini. Hanya menambah beban dan kesakitan.


Malam hari. Ada saja pesan singkat darinya. Sungguh, aku minta maaf. Aku jujur sekarang, aku hanya setengah hati membalasnya. Hanya formalitas. Hanya agar tidak ada kesakitan. Tapi ternyata aku yang sakit. Aku menaruh harapan besar. Aku...yang belum pernah merasakan apa itu berpacaran, aku...yang tidak tahu rasanya diperhatikan oleh orang lain selain teman dan keluarga, aku berharap sesuatu yang entah kenapa menyesakkan dada. Sesak yang sakit dan membuatku ingin menangis.


Aku hanya bisa menumpahkan rasa sakit ini pada temanku, karena aku sendiri tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Aku bingung dan nelangsa pada kenyataan. Apa-apaan ini???!!


Dengan nekat aku bertanya padanya. Dia anggap apa aku? Aku bertanya untuk menutup kemungkinan rasa ini. Dia dan aku sama plinplannya. Gamang. Tidak ada kepastian. Seperti sama-sama punya rasa, tapi tidak. Rasa dan hubungan yang dangkal. Untuk apa?
“Kamu nganggep aku apa?” tanyaku.
“Kamu orang yang bikin hidupku jadi warna-warni.”
Owh.. Aku crayon hidupnya. Ohh.. Begitu..
“Bagus! Kita teman kan?! Gud!” kataku. 


Aku sungguh tidak yakin akan apa sebenarnya yang sedang berkecamuk di dalam hati dan pikiranku saat itu. Bersyukur karena aku hanya crayon yah, sedih karena aku cuma crayon yah. Aku ingin jawaban tegas yang bukan khiasan seperti ini. Kalau aku bukan apa-apa...sebut saja aku temanmu. Kalau aku sesuatu untukmu, katakan posisiku dalam hidupmu! Katakan seistimewa apa aku dan kau berharap aku bersikap bagaimana terhadapmu dan menjadi apamu. Kalau kau tegas memintaku untuk menjadi sesuatu, mungkin aku tidak akan pernah menurunkan penilaianku terhadapmu.

Aku kira semua telah berakhir. Aku menutupi luka dan percikan kecil rasa sakit. Aku terdiam dalam gelap dan hanya diselimuti terang bintang. Beginilah akhir cerita ini?


Dan suatu hari sebuah pesan singkat darinya, membuatku syok jantung.
“Aku tahu kok. Apa yang kamu rasa, aku juga rasa.”
Jantungku berdegup kencang. Kepalaku pusing. Malam terasa pengap. Apa-apaan ini?


Astaga! Apa yang terjadi. Usut punya usut ternyata dia salah kaprah dengan salah satu statusku di akun jejaring sosialku. Aku menuliskan kata-kata cinta. Oh My Lord!! Kalimat itu kutulis untuk salah satu aktor kesukaanku!!! Mati aku sekarang!! Gimana cara ngejelasinnya? Mau bilang dia salah sangka, tapi tidak enak rasanya. Aarrrggggghh!!!
***
Benarkah rasa seperti itu yang dia bilang sama dengan apa yang kurasa? Aku sendiri tidak tahu apa yang kurasa terhadapnya. Kenapa dengan percaya dirinya dia bilang punya rasa yang sama denganku? Ugh! Bagaimana ini? Rasa apa itu? Benarkah pradugaku tentang status itu? Ampuuun deehhh!!


Aku berfikir, lama, lama aku berfikir. Mencoba mencari jawaban.


“Apa yang harus aku lakukan? Tuhan... Apa ini jalanmu untuk menyuruhku mencobanya? Iya? Begitu kah? Haruskah aku mencobanya? Dengan rasa yang nyaris musnah ini? Tuhan? Kenapa tidak Kau jawab tanyaku?”
Hhh.. 
Helaan nafas panjang mengiringi kebodohanku.


Aku tidak ingat dengan jelas kejadian mana yang lebih dulu. Tapi aku ingat, adikku bilang Domba sedang PKL (praktek kerja lapangan) di bekas SMAku. Hhh... Jujur, aku ingin bertemu dengannya. Meng-clear-kan semua kesalahpahaman. Tapi kenapa bertemu dengannya sangat susah sekali. Kenapa setelah dia mengatakan bahwa kami punya rasa yang sama, dia tidak sekalipun mencoba untuk menemuiku? Kenapa tidak ada ajakan sama sekali untuk berbicara empat mata? Kenapa? Aku bertanya dan terus bertanya tanpa jawaban. Berharap bisa bertemu dengannya walaupun hanya kebetulan.


Aku tidak bisa menceritakannya satu persatu. Ceritanya sudah terlupa. Tapi rasa kesal yang aku alami masih melekat erat di hatiku. Dia bilang kan apa yang aku rasa dia rasa juga?! Dia bilang begitu kan? Tapi kenapa malah seperti ini yang terjadi. Kenapa malah masa depan sama sekali tidak bisa kulihat dengan jelas? Kemana arah semua cerita ini? Akhir yang seperti apa yang akan terbentuk. Benar-benar gamang. Buram. Berkabut. Aku sama sekali tidak suka dengan keadaan yang seperti ini.


Ingin berjalan dengan namanya dihidupku, akan tetapi rasanya tidak pas. Masih ada permasalahan yang mengganjal. Hatiku berkata, “Belum waktunya untuk menutup hatimu dari orang lain sekarang dan belum saatnya seluruh hatimu kau berikan untuk anak itu.”
Ya! 
Karena kami, belum ada komitmen apapun.  Ingin berjalan sendiri tanpa embel-embel namanya lagi, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada perasaannya. Karena bagaimanapun juga dia itu berharga bagiku. Sama berharganya dengan siapapun yang pernah berkecimpung dalam hidupku. Bagaimana ini?


Baiklah. Biarkan begini saja. Dan dimulailah kehidupan baru yang asing bagiku.
Hhh...
Sedikit keterpaksaan membayangi. Ada juga semacam rasa tak percaya.


Tidak seperti seorang gadis yang dengan riang menerima pesan dari orang yang dia sukai. Tapi malah seperti panglima perang tidak mau kalah. Kalau dia tidak berkabar, aku juga tidak. Itu tidak masalah. Bahkan sama sekali tidak menjadi masalah. Tidak ada rasa ingin. Aku merasa menjadi seperti sebuah boneka, bertindak sewajarnya, sekenanya tanpa rasa. Mati rasa yang makin parah.


Tuhan, inikah sosokku yang sesungguhnya? Ketika dulu aku memohon-mohon padaMu, “Sekali saja Tuhan. Biarkan aku mencoba dengannya ya Tuhan dengan orang yang kusukai. Biarpun cuek begini, aku juga gadis biasa Tuhan. Yang punya impian dicintai dan mencintai seseorang, mendapatkan timbal balik rasa yang membahagiakan.”


Tapi apa ini? Ketika Kau memberikan jalan bagiku untuk mencoba hubungan dengan dia yang dulu sangat aku impikan, kenapa...kenapa malah aku berbuat kejam seperti ini terhadap kemurahan hatiMu dan terhadapnya juga Tuhan? Kenapa aku seakan-akan tidak mensyukuri apa yang Kau hadiahkan untukku ini Tuhan? Maafkan aku....


Aku merasa sesak sendiri dengan keadaan ini.


Keadaan makin lama makin tidak menentu. Gadis seangkatannya yang dulu pacarnya itu...ahh!, aku baru berfikir sekarang! Anak ini apa benar-benar sudah putus dengan gadis itu? Ash! Pikiranku melayang. Aku merasa dibodoh-bodohi. Sepanjang pengamatanku, sesekali gadis itu tetap muncul di akun jejaring sosialnya. Otakku makin berat berimajinasi.


“Tuhan. Serius kah dia? Kenapa tidak jelas begini?? Kenapa dia mengantungku. Dia bilang punya rasa yang sama kan denganku. Rasa apa Tuhan? Rasa apa yang dia maksud??”


Aku terlalu tinggi berkhayal. Terlalu bermuluk-muluk ria. Aku terlalu mengharapkan sesuatu yang susah digapai, ahh...bukan susah, tidak jelas untuk digapai. Apa? Bentuknya apa?Dimana? Menyebalkan! Laki-laki yang menyebalkan!


Beruntung. Ujian dan kesibukan KKN menutupi rasa kesalku. Ya! Aku kesal! Karena apa? Karena tidak jelas mau melangkah kemana! Aku tidak suka ketidakpastian hidup. Dan aku baru sadar, aku tidak suka keterikatan semu seperti ini. Seakan sedang berdiam di sebuah ruangan tanpa pintu dan jendela. Ruangan tertutup berukuran 1 x 1 meter. Sesak. Pengap. Lembab. Menyiksa sekali.


Aku begitu berharap dia bisa menjadi orang pertama yang...ugh!, jadi pacarku. Aku, hhh...terobsesi untuk semua itu. Obsesi untuk menjadikan dia yang pertama kusukai menjadi orang pertama yang menjadi kekasihku.. Iiiiiihhhhhh!!! Perutku eneg! Hhh... Obsesi... Obsesi kah? Ya...Obsesi ini membuatku merasa menjadi seorang monster. Aku benar-benar takut menyakitinya. Tapi aku juga kesal karena dia terlihat tidak serius. Apa aku yang salah sangka? Apa aku yang terlalu banyak berharap? Harapan tanpa rasa, harapan tanpa niat yang sungguh-sungguh hanya membuatku jatuh terpleset pada perasaan diri yang terkungkung.


Menyakitkan.


“KKN dimana?
“Di desa A”
“Dimana nginep?”
“Dirumah penduduk.”
“Ohh.. tak kira buat tenda..”
PERCAKAPAN APA INI??? 
Aku... aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku menangis sesak. Aku tersakiti! Aku! Aku? Benarkan aku yang tersakiti? Apa dia merasa sakit juga dengan tingkahku yang dingin ini? Iyakah? Sudah berapa tanda tanya yang kuketikkan? Tanya yang sama sekali tidak terjawab.


KKN yang mengajarkanku akan banyak hal. Hidup ini susah. Hidup ini kejam. UGD, Poli Gigi, Poli Umum, Poli KIA KB, loket, apotek, hhh...terima kasih. Semua membuatku bisa berfikir lebih jernih. Dan malam ini, disaat baru separuh waktu KKN aku jalani aku memutuskan sesuatu. Untuk kali ini, tutup buku sudah. Buku ini akan kutaruh dikardus dan kutumpuk dengan buku-buku yang lainnya. Buku tentang Domba dan kisah yang mengiringinya.



Cukup. Aku tidak kuat seperti ini terus. Hatiku tidak cukup kuat.


“Hentikan semua kebodohan ini.!! Cerita kamu dan aku, kambing dan domba sudah tamat 3 tahun yang lalu.. Jangan tanya apa-apa lagi.. Kamu dan aku tidak berhak menjawab dan bertanya lagi.. Cukup sudah! Kata siapa? Kataku! Egois?! Yeah, that's right! Aku memang egois, itu kenyataan.. Semua orang punya sifat egois, itu alamiah, jangan munafik! Jangan pernah berlari lagi kearahku, jangan pernah menarikku lagi kearahmu.. Berlarilah kearah yang bisa membuatmu bernafas dengan bebas.. Karena kita, selama ini hanya saling menyakiti.. God bless you..”


Kukirim lewat inbox akun jejaring sosialnya, setelah itu aku memblokirnya bersamaan dengan terblokirnya kisah masa lalu itu. Cukup! Dan tidak ada pengharapan lagi. Tatap masa depan dan mungkin seseorang di depan sana yang sedang menanti. Entah siapa. Tidak tertutup kemungkinan dia akan muncul lagi, tapi...paling tidak sudah habis pengharapanku. Rasaku untuknya sudah habis, tertelan rasa kecewa dan kesal. Dan tidak ada lagi kilasan ingatan yang membuatku terpikirkan akan apapun tentangnya.


Semua seingatku, sudah tertuang disini dan sudah terhapus total dari memoryku. Sudah selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tahu kamu memahami apa yang kamu ingin sampaikan dengan kata-kata. Aku tahu kamu orang baik dan tidak akan bersikap konyol dan kekanakan dengan berkomentar yang tidak sepantasnya. Aku percaya padamu, komentator.