Zona nyamanku yang dulu telah tertinggal disana dan aku sekarang berdiri disini sudah sangat jauh dari zona nyamanku itu. Aku berjalan dengan susah payah karena diawal perjalanan rasanya berdiripun susah. Dengan peluh bercucuran dan nafas terengah bahkan tetesan darah aku memilih untuk tetap berjalan. Menjauhi zona nyaman dan berusaha menyamankan diri, berusaha menanamkan sugesti bahwa aku bisa, bahwa ini bukan apa-apa, bahwa ini adalah jalan menuju diri yang lebih dewasa dan hanya orang sukses yang menemukan jalannya. Apakah akhirnya aku menemukan jalannya? Entahlah.
Sekarang aku berdiri disini, mengenang jungkir baliknya aku mempertahankan diri agar tetap berdiri dan memaksa untuk berjalan. Orang menganggap remeh hidupku dan segala usahaku. Aku bersedih karena tidak ada yang sungguh-sungguh mendukungku. Aku berdiri sendiri dan aku mulai belajar mendukung diriku sendiri. Tanpa orang lain, sama sekali tidak menggantungkan diri pada siapapun. Hal kecil yang digeneralisasi dan disamaratakan mengubah pandangan orang terhadapku. See! Lihat tatapan mata mereka! Lihat ucapan mereka! Lihat perlakuan mereka! Meremehkan! Ini tantangan kedua setelah aku berusaha berdiri.
Hidupku mungkin mudah dimatamu, pintarlah kamu berbicara dan meremehkan diriku. Pintar-pintarlah kamu memposisikan dirimu seolah kamu jauh lebih baik dariku. Pintar-pintarlah! Bahkan aku yang menjalani hidup seperti ini tidak pernah meremehkanmu. Aku yang menjalani, aku yang merasakan, kenapa dengan gampangnya kamu berucap seperti itu? Oh kamu manusia yang mengagungkan diri yang menganggap diri lebih hebat dari yang lain, sadarlah! Kehancuran dengan pola pikir seperti itu sudah ada di depan mata.
Kadang aku lupa. Benar! Aku lupa! Tidak ada seorangpun yang tahu tentang diriku. Aku lupa dan mulai menyakiti diriku karena berasa kepedulian orang lain begitu penting dan berharganya untukku. Aku lupa. Sudah lama aku tidak merasakan kepedulian itu dari orang lain. Aku berkata begini bukan untuk mengeluh bahkan mengemis kepedulian. Bukan! Aku hanya berkata pada diriku sendiri, karena tidak ada yang mengerti jadi jangan sampai kesal gara-gara orang lain. Karena tidak ada yang benar-benar tahu dan bisa menebak dengan benar jadi jangan mengurung diri di dalam persepsi orang tentang bagaimana aku sebenarnya.
Kenyataan berkata begitu bahwa memang tidak ada yang benar-benar mengerti. Entah karena aku yang terlalu dungu dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik, entah karena aku yang memang selalu salah mengkomunikasikan maksudku, entah karena aku yang terlalu munafik atau entah karena apa. Ketika aku berucap dan aku mengharapkan sesuatu yang baik dari peneriman ucapanku dan ketika itu pula aku menangis dalam hati. Hhaaah! Aku lupa! Aku lupa! Tidak usah berharap orang lain mengerti bahkan jangan sampai mengemis pengertian dari orang lain.
Lupakan tebakan akan isi hati orang lain! Lupakan apa yang orang kata selama yang kau rasa adalah benar walaupun orang berkata salah dan mencemooh. Kita sudah cukup dewasa untuk tahu mana yang benar dan mana yang salah. Bukankah pelajaran agama dan budi pekerti sudah cukup menjadi patokan yang berharga?!
Orang bilang aku membosankan, orang bilang aku terlalu penurut, orang bilang aku gendut, orang bilang aku licik, orang bilang aku susah senyum, orang bilang orang bilang! Kenapa harus peduli? Kenapa harus mendengarkan kata orang lain selama diri tidak berfikir seperti itu? Kenapa harus kesal dengan penilaian minus seseorang jika diri merasa nyaman? Bukankah penilaian itu bersifat relative dan kadang subyektif?
Dan sejauh ini, perjalananku memang banyak membuahkan hasil yang harus dan patut aku syukuri. Aku akhirnya menemukan tempat dimana pemikiran radikal dan tidak biasaku mau ditampung, aku menemukan tempat dimana aku bisa menjalankan diriku tanpa harus memperhitungkan sakit tidaknya orang lain. Karena ternyata aku memang tidak menyakiti siapapun! Di tempat itu juga aku menemukan banyak orang hebat, cerdas, luar biasa yang tidak meremehkan keanehanku yang menerimaku dengan tangan terbuka dan penuh kesopansantunan. Mereka menghormati hak-hakku berbicara. Tidak menoleh background apa dibelakangku. Mereka mensejajarkan dirinya denganku. Aku terharu.
Salah satu dari mereka berkata,
“Tapi jangan lupa! Kamu juga hidup berdampingan dengan orang lain. Secuek apapun yang kamu lakukan, seidelais apapun hidupmu, ingatlah jangan sampai menyakiti orang lain dengan apapun yang kamu lakukan. Dengan apapun yang kamu sebut dengan kebebasan.”
Ya. Aku tidak akan menyakiti siapapun dalam artian tidak akan sengaja melakukan kejahatan atau bertindak jahat kepada orang lain. Aku hanya akan bertindak sedikit kejam. Oh oke deh, selama ini aku sudah bertindak sangat kejam sebenarnya. Seseorang menangis karena perlakuanku. Seseorang terbuka kebohongan masa lalunya. Seseorang bahkan kehilangan banyak temannya karena perbuatanku. Entah apa lagi yang akan terjadi pada orang lain yang kuanggap telah menyakitiku, membuatku muak dengan tingkahnya dan tindakannya. Apalagi yang menusukku dari belakang.
Pernahkah berfikir bahwa kebaikan tidak selalu datang dengan berbuat manis dan menyenangkan hati orang lain? Contoh sederhananya, ketika kamu memberi orang lain contekan, orang yang kamu bantu merasa senang kan? Dia berterima kasih, tidak ada salahnya kamu merasa telah berbuat baik dengan menolongnya menjawab soal. Tapi jangan naiflah! Memberikan contekan saat ujian hanya akan menjerumuskan kawanmu dalam kubangan kemalasan dan hidup yang instan. Tidakkah kamu sadar bahwa itu membuatnya susah dikemudian hari? Oke! Kenapa peduli? Kalau memang tidak peduli, seharusnya dari awal juga tidak usah memberi jawaban bukan! Oh sudahlah. Idealismeku sudah menginjak-injak sifat manusiawiku. Menciptakan ribuan topeng dan bermacam alter ego. Aku mulai curiga bahwa aku mungkin penderita multipel personality disorder.
“Yang penting harus tepat memasukkan keris dan samurai (katana?). Jangan sampai tertukar sarung pedangnya.”
Ya! Jangan sampai salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Aku tahu kamu memahami apa yang kamu ingin sampaikan dengan kata-kata. Aku tahu kamu orang baik dan tidak akan bersikap konyol dan kekanakan dengan berkomentar yang tidak sepantasnya. Aku percaya padamu, komentator.