Kamis, 20 Januari 2011

Our Story : Kambing dan Domba


Musim kemarau tahun ini, ahh bukan, ini bukan musim kemarau. Hhh, ini musim penghujan. Hhh. Aku tidak dapat memastikan hari ini termasuk musim apa ditahun ini. Alam sedang mengalami kekacauan. Sama sepertiku. Aku merasa kacau. Karena satu hal.



Mencintai bukan suatu kesalahan kan? Iya itu bukan suatu kesalahan. Lalu apa yang salah? Aku! Dengan semua kepribadian, pola berfikir dan ketakutan-ketakutanku. Ya! Itu membuatku sakit. Cinta itu sakit. Cinta itu kejam. Cinta yang aku miliki hanya akan menyakitiku! Sudah kuputuskan untuk menghindar dari sumber cinta ini.
“Kakak cantik sekali,” kata anak itu.
Aku cantik? Ya, apa kau bilang? Aku terperangah. Kata-kata itu, kenapa setelah bertahun-tahun tetap membuatku merasa merona mengingat kalimat itu keluar dari bibir mungilnya? Padahal baru kemarin rasanya aku mengatakan bahwa aku mencintai orang lain. Kenapa setelah bertahun-tahun aku tetap ingat padanya? Apa ini cinta? Cinta pertama? Bukan. Aku yakin bukan. Ini hanya kenangan yang terangkai indah. Membentuk sebuah dongeng. Dongeng bagiku sebelum tidur.
Aku menoleh ke masa itu.
Aku bisa melihat senyumannya. Aku bisa melihat tatapan kebenciannya. Aku bisa melihatnya naik sepeda ke sekolah. Aku bisa melihatnya sembunyi-sembunyi menatapku. Aku bisa melihat gayanya malu-malu menyapaku. Aku bisa melihatnya bercanda dengan kawannya. Aku bisa melihatnya berduaan dengan seorang gadis. Aku bisa melihatnya begitu hanyut bersama gadis itu. Aku bisa melihatnya karena aku memang terus menatapnya. Sembunyi-sembunyi.
Anak itu, yang mengatakan bahwa aku cantik sudah tumbuh seiring berjalannya waktu. Aku bisa menatapnya berjalan dari belakang. Aku bisa menatap punggungnya. Punggung itu berkembang seiring berjalannya waktu. Tahun ke tahun, semakin memesonaku.
Aku bisa mendengar kecerewetannya. Segala kebawelan yang dia tunjukkan sejak hari pertama bertatap wajah. Aku bisa mendengar suara ceracauannya. Aku bisa mendengar banyak hal yang ia katakan. Sejak kecil, dia begitu cerewet. Namun suatu waktu ia jadi begitu pendiam. Dia jadi begitu jauh dari jangkauan. Namun sekarang sudah kembali lagi. Namun aku tidak bisa menikmati semuanya sama seperti dulu.
Aku ini orang yang menyedihkan. Tarik-ulur tarik-ulur begitu menyakitkan.
“Do re mi do re mi fa re, re mi fa re mi fa sol mi....”
Bersamaan dengan nada itu, kisah ini dimulai.
Entah bulan apa di tahun yang mana, aku kembali terpilih. Terpilih untuk ikut lomba paduan suara mewakili sekolahku tercinta. Senior-senior yang dulunya ikut sudah tidak ada, karena di sekolah dasar ini, tingkatankulah yang paling tinggi. Aku kelas enam sekolah dasar waktu itu. Masih begitu kecil dan lugu.
Hanya segelintir kelas enam yang terpilih. Sisanya junior. Dan anak itu ada diantara para junior itu dengan suaranya yang serak dan selalu tidak tepat nada. Fals. Tapi dia tetap terpilih. Hhh. Mungkin karena semangat juangnya. Kami bernyanyi dan aku selalu berfikir bahwa suara anak ini begitu tidak terkontrol.
“Anak-anak, ibu punya pengumuman. Ada yang mau ikut lomba busana?”
Aku menawarkan diri.
“Siapa pasanganmu?”
Aku menggeleng tidak tahu. Lalu ibu guru menunjuk seseorang, aku menoleh, mungkin rohku menjadi tiba-tiba pucat pasi melihat siapa yang ditunjuk oleh ibu guru. Ya! Anak itu! Anak dengan suara yang tidak terkontrol itu. Dia terpilih mendampingiku. Aku disandingkan dengannya.
“Hmm, cocok. Kamu jadi pasangannya ya!”
Anak itu entah bagaimana, entah menerima atau tidak yang jelas pulang sekolah dia mengikutiku dan bertanya, “Kita pakai baju apa Kak?”
“Enggak tau. Tanya bu guru aja besok.”
Dia berkata dengan riang. Aku ingat keriangannya. Dan aku ingat betapa kacau perasaanku waktu itu.
Beberapa hari kemudian,
“Waaah, lombanya udah kemarin.”
Petir menyambarku. Lagi. Guru ini mengecewakanku. Tidak cukupkah masalah siswa teladan itu saja yang membuatku kecewa. Tidakkah cukup Bu? Aku serius namun kau tidak mengindahkanku. Dengan hati sakit aku mengangguk pasrah. Aku cuma tersenyum pada anak itu. Entah dia melihatku tersenyum atau tidak.
Kami berlatih setiap hari, semakin akrab dan semakin menyenangkan. Dia memanggilku kambing. Aku memanggilnya domba. Darimana asal ejekan itu? Akupun sudah lupa.
Hari perlombaanpun tiba. Aku melihatnya duduk dalam kegelapan, menggigil. Kedinginankah? Secara naluriah aku menyentuh dahinya. Benar, panas! Ia demam. Bagaimana bisa ikut berlomba dengan keadaan seperti ini?
Berangkat ke lokasi lomba kami berpisah mobil. Disuatu tempat, mobil kami berhenti sejenak. Aku melihatnya, tersenyum kearahku dari dalam mobil. Aku tersenyum balik. Aku ingat suasana itu. Dan diluar nalar, lokasi anak itu tersenyum adalah halaman depan tempat kuliahku saat ini. It’s so amazing to me.
“Manis,” kataku dalam hati mengomentari senyumnya.
Lomba usai. Aku menangis. Diakhir masa sekolah dasarku, aku ikut lomba bersama teman-teman dan mendapatkan juara terakhir. Ironis!
Seminggu berlalu setelah perlombaan itu. Anak itu, si domba, masih belum juga ke sekolah. Terakhirku dengar dia kena demam berdarah. Mataku berkaca-kaca.
“Dia udah sembuh belum ya?”
“Kalau kamu khawatir jenguk aja! Kita udah jenguk waktu ini soalnya.”
Aku menggeleng. Tidak usah. Cukup doaku saja. Sejak itu, doaku selalu ada untuknya.
Di ulang tahun seorang kawanku. Aku memecahkan sebuah botol minuman bersoda. Ahh, dasar ceroboh! Lalu aku harus ganti pakai apa? Aku masih bengong memikirkan insiden botol pecah itu.
“Kakak cantik sekali.”
Aku tercengang. Cantik?
“Cantik apanya berantakan gini juga!” kataku lalu tertawa.
“Enggak kok, beneran!”
Aku cuma tertawa. Sudahlah, anak ini mungkin mabuk karena minuman bersoda.
Sejak hari itu, semua dimulai.
“Domba suka loh sama kamu. Dia sendiri yang bilang.”
“Hmm.”
Biarlah semua berlalu dengan angin. Aku tidak tertarik berpacaran. Semua berlalu begitu saja, terhapus sibuknya ujian kelulusan dan mencari sekolah. Aku dan dia tetap berteman baik, tidak ada kecanggungan. Kenapa memangnya? Aku senior dan dia junior. Itu saja.
***
Aku sudah menjadi siswi sekolah menengah pertama sekarang. Sesekali aku datang ke sekolah SD dan dia selalu ada. Di sekelilingku. Dia mencoba menarik perhatianku. Dengan senyum malu-malu aku berpikir, “Apaan sih!”
Sampai suatu waktu temanku berkata, “Aku bilang gini loh ke dia, heh kambing itu orang enggak suka sama kamu, enggak level katanya.”
Aku bersumpah ingin mencekik kawanku saat itu. Kamu bosan hidup ya?! Aku begitu marah, begitu kesal. Tapi kenapa aku kesal ya? Hhh, yang keluar hanya sebuah kalimat.
“Kok kamu bilang gitu? Bilang donk yang sebenarnya sama dia! Aku kan enggak pernah bilang kayak gitu.”
“Iya-iya nanti aku sampein.”
Waktu terus berlalu, domba bersikap seakan tidak pernah mengenalku. Dia terlihat begitu membenciku. Aku menoleh pada temanku.
“Kamu udah bilang yang sebenernya?”
“Belum,” katanya sambil nyengir.
Kalau waktu itu aku punya gerinda, aku ingin sekali menggerinda lehermu wahai kawan baikku yang membuatnya membenciku!
Waktu terus berjalan. Aku pasrah. Biar sajalah dia membenciku. Tapi, kenapa setiap bertemu dengannya aku merasa berdebar. Mengapa aku berkeringat dingin dan merasa dadaku ini sesak? Ahh, sudahlah, aku cuma merasa bersalah saja. Aku benar-benar kehilangan teman baikku, Si Domba.
Tahun ini dia masuk ke sekolah menengah pertama. Dia satu sekolah denganku. Aku melihatnya. Aku ingin melindunginya. Aku ingin memperbaiki semua kerusakan yang terjadi. Tapi dia menjauhiku. Aku jadi susah. Untung, ada seorang kawan yang mau membantuku berkomunikasi dengannya. Dan kawanku itu berhasil!
Dia membuatku bisa bercakap lagi dengan domba. Walaupun lewat puisi yang tertulis dalam sebuah buku. Itu buku kami. Aku senang dengan keadaan ini, walaupun awalnya malas setelah mendengar temanku berkata,
“Kata dia kamu sama dia bisa temenan lagi, tapi gag bisa seperti dulu ataupun lebih dari itu karena dia sudah punya pacar.”
Ihhsss!! Kawanku! Emang kamu bilang apa saja sih ke dia? Aku cuma ingin dia tidak menatapku dengan penuh kebencian lagi saja kok. Tapi ya sudahlah, kawanku ini juga sudah begitu banyak membantu. Tatapan kebencian itu hilang sudah. Dia mulai mencoba menyapaku, walau kadang aku cuekin. Boleh jujur, aku bukan nyuekin, aku cuma punya sedikit masalah dengan konsentrasi. Jadi sebenarnya aku bukan nyuekin dia, aku cuma tidak tahu dia ada disana.
Dia menyapaku, aku tersenyum. Kami berpapasan, aku tersenyum. Aku hanya tersenyum tanpa sanggup berkata-kata.
Hingga akhirnya,
“Maafkan aku!!” kata kawanku, “Dia malah nembak aku, tapi aku nolak dia kok!”
Aku tertawa lalu berkata, “Enggak apa-apa. Ngapain minta maaf sama aku?”
Aku suka dia. Awalnya ku berfikir dengan semua hal yang terjadi akhir-akhir ini, dia akan memintaku menjadi pacarnya. Aku gelisah karena aku punya prinsip untuk pantang berpacaran sebelum 17 tahun. Tapi ternyata aku ke-GR-an. Aku senang ternyata yang dia inginkan adalah kawanku. Sekaligus aku merasa aneh. Apa yang kurasa? Aku cuma merasa ingin menangis saja. Dadaku sesak dan kepalaku terasa berat. Itu saja kok. Tidak lebih tidak kurang.
Aku melupakannya. Aku berusaha tidak memedulikannya. Aku berusaha bersembunyi darinya. Lupakan sajalah, kita tidak akan bisa menjadi teman karib seperti dulu lagi. Karena kamu dan aku berbeda.
Tahun terus berlalu, dengan segala hal yang berlalu begitu saja.
***
Masa SMA kujejaki dengan pikiran kosong. Awalnya aku begitu bersemangat belajar. Pikirku supaya gampang mencari lanjutan sekolah pada saat kuliah nanti. Bukankah nilai raport dari kelas satu menentukan lulus tidaknya kita lewat jalur PMDK? Hemm.. Aku ingin menjadi seorang Psikiater. Bukan psikolog. Sebelum Psikiater ada jenjang sekolah Kedokteran Umum yang harus ditempuh. Yap! Aku ingin jadi dokter ahli jiwa. Rencanaku begitu mantap.
Aku berjalan sendiri tanpa menoleh. Pikirku hanya belajar, belajar, dan belajar. Saat itu aku tidak punya teman. Semester awal yang penuh kesendirian. Tapi lumayanlah, bisa dapat peringkat sepuluh besar dan masuk kelas unggulan di semester selanjutnya. Cukup membuatku tersenyum lega. Masa depan tidak tertutup awan kelabu.
Semester selanjutnya, aku tetap berjuang. Aku mulai punya kawan di kelas unggulan itu. Tapi rasanya jauh berbeda. Entahlah apa yang membuatnya berbeda. Aku merasa waktuku tidak sepenuhnya untukku dan buku lagi. Waktuku tersita. Aku percaya pada kawan-kawanku. Dan kepercayaan itu mulai melebihi batas rasionalitas. Aku mempercayai mereka melebihi kepercayaanku pada orang tuaku sendiri. Fatal! Ini berakibat fatal dikemudian hari!
“Semoga dia masuk di sini,” doaku ketika melihat papan pengumuman TPA siswa-siswi baru yang akan masuk ke sekolah menengah atasku.
Doa untuk Domba. Ya. Anak yang berkata bahwa cantik. Anak itu. Bagaimana kabarnya ya? Teman-teman seusiaku saja sudah berubah postur tubuh. Apa dia berubah ya? Segala tanya berkecamuk dalam otakku. Hah! Pasti aku sudah gila! Untuk apa aku memikirkan begundal kecil yang tiba-tiba saja bersikap acuh padaku dan yang pada akhirnya memilih temanku daripada aku. Hah! Apa yang terjadi padaku? Bodoh!
Dan benar saja, dia ada! Walau tidak ikut MOS. Walau dalam waktu seminggu setelah junior baru masuk ke sekolahku dia belum kelihatan. Aku hampir putus asa. Namun suatu ketika, aku melihat punggung itu. Punggung yang begitu gagah dan kokoh. Punggung yang dulunya kecil. Punggung yang selalu kutatap, sembunyi-sembunyi.
Waktu berlalu. Kami bertegur sapa walau tetap tidak banyak bicara. Tatap matanya, caranya bicara, senyumnya, aku tidak pernah bosan. Jantungku tidak pernah berdegup dengan tenang. Aku nelangsa dengan rasa yang kupikir sangat bodoh ini. Domba.. Kukira rasa ini sudah berubah lagi. Aku bukan saja menyukaimu, aku menyayangimu, dan dengan sangat geli aku akui aku mencintaimu. Halah! Zizik saya dengan ucapan seperti ini. Tapi apa mau dikata, begitulah adanya. Untuk apa malu mengekspresikan diri?
“HAH?” teriakku histeris.
“Kenapa?” tanya kawan-kawanku serempak, dan dengan serempak pula mereka senyum-senyum menggoda.
“Bagaimana bisa aku disandingkan dengannya sebagai pendamping kelas? Bagaimana bisa?!! Hah! Haaah.”
Waktu itu aku sudah berada dijenjang terakhir sekolah SMA. Aku anggota OSIS. Sewajarnya menjadi panitia MOS di awal tahun ajaran baru. Dan aku kebagian tugas menjadi pendamping kelas. Ajaibnya aku dipasangkan dengannya, Domba. Hyaaahh, walopun ada sih temanku satu lagi. Tapi! Tapi! Hah! Sudahlah.
Acara MOS berjalan sebagaimana mestinya. Dan aku merasa akupun semakin dekat dengannya. Sejarah berulang. Saling mengejek, berbincang, tertawa bersama, sindiranku, ke-jaim-anku. Dan aku yakin, dia dan aku, akan memiliki sebuah akhir kisah yang cukup menyenangkan. Saat itu aku yakin, bahwa akan ada sesuatu antara aku dan dia. Aku yakin, namun cerita berkata tidak. Hhh. Tangisanlah jawabannya. Siapa yang salah? Usai Mos dia malah jadian dengan teman seangkatannya. Aku patah hati! Aku putus asa dan hampir bersumpah untuk melupakannya seumur hidupku. Aku hampir bersumpah walaupun tidak jadi kulakukan. Tidak. Tidak untuk saat ini.
Kata tidak untuk saat ini, penyangkalan untuk saat ini, hhh, hanya akan menimbulkan kesakitan serupa dikemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tahu kamu memahami apa yang kamu ingin sampaikan dengan kata-kata. Aku tahu kamu orang baik dan tidak akan bersikap konyol dan kekanakan dengan berkomentar yang tidak sepantasnya. Aku percaya padamu, komentator.