Minggu, 09 Oktober 2011

Haru Haru


Leave
Finally, I realized that I am nothing without you.
I was so wrong, forgive me


Tyoppa’s mind
Aku tidak sanggup mendengar lagi kata-kata yang diucapkannya. Ini menyakitkan. Kuraih tangannya. Berharap dengan cara itu bisa sedikit menguatkannya. Kepala dan bola mataku bergerak acak, seacak pikiranku saat ini.
“Bukan begini caranya,” kataku lemah.
Kugenggam jemarinya. Dingin. Jemari Minni terasa dingin. Mata Minni memancarkan rasa lelah dan putus asa. Gadis ini membuatku nyaris gila. Kau, gadis kecil kami, maafkan aku tidak bisa benar-benar melindungimu. Aku membelai kepalanya dengan rasa sayang.
“Kumohon bantu aku Tyoppa,” ujarnya memelas.
“Kau tahu betul ini akan menyakitinya.”
“Itu lebih baik. Ya, lebih baik begitu.”
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Minni, lebih baik Kau tidak usah tersenyum jika memang tidak ingin. Senyummu itu makin membuatku sakit.
“Berikan ini padanya,” pinta Minni.
Minni melepas genggaman tanganku, kemudian secara perlahan juga melepas sebuah cincin yang melekat di jari manisnya. Aku tahu persis cincin apa itu. Minni meletakkan cincin itu di telapak tanganku. Ada sedikit keraguan dalam gerak tanggannya.
“Tolong berikan padanya nanti. Ya Tyoppa? Tentu aku bisa mengandalkanmu kan?”
“Kau,” mati-matian aku menahan rasa sentimentil yang membuncah dalam hatiku, “kau harus mampu bertahan,” aku berharap diriku masih tetap terlihat tenang saat ini. Ku tepuk pundaknya, “Kuat ya!”
Hanya senyuman yang diberikannya padaku. Minni tidak berkata apa-apa lagi. Ia beranjak pergi dalam sendunya. Meninggalkanku dalam rasa sentimentil yang menyakitkan sekaligus menggelikan ini. Ah, benar, gadis ini membuatku gila.


Jidhe’s mind
Aku tidak percaya dengan penglihatanku hari ini. Sedang apa mereka berduaan disana? Hanya berduaan di jalan kecil yang sepi ini. Sedang apa mereka? Dan hey! Jangan usap kepalanya seperti itu! Dia itu gadisku!
“Mwo! Itu Tyoppa kan?” ujar Songgi, “dan Minni,” tambahnya sedikit melengking.
“Ya,” jawab Bebe singkat.
“Itu Tyoppa dan Gadisku.”
Aku melihat Tyoppa mengenggam tangan gadisku. Panas rasanya. Suasana yang tadinya kurasa dingin mendadak membuatku gerah begini. Beraninya ia menyentuh gadisku. Perasaanku makin tak keruan.
“Apa yang mereka bicarakan?” setidaknya aku masih berusaha menahan emosiku.
“Ayo!”
Seperti bisa membaca pikiran, Bebe menepuk pundakku, mengajakku beranjak dari tempat kami berdiri dan mendekati mereka.
“Mwo!” pekik Songgi.
Minni, Minniku, gadisku melepas cincin yang semula tersemat di jari manisnya. Aku tahu benar cincin apa itu. Di lingkaran dalam cincin itu terukir nama kami. Namaku dan Minni. Kenapa dilepas? Kenapa diberikan kepada Tyoppa? Bukankah itu cincin yang berharga. Aku mematung dan tidak bisa bergerak maju. Begitu pula Bebe dan Songgi.
“Minni,” gumamku.
Tyoppa kembali menyentuh gadisku. Sekarang pundaknya. Tidak! Ini tidak boleh dibiarkan saja! Emosiku tidak bisa kutahan lagi. Cincin Minni yang sama dengan yang kugunakan di jari manisku ini, aku harus tahu kenapa dilepaskannya!


Author’s mind
“Ku kira kau kawanku! Tapi apa yang barusan kau lakukan berdua dengan gadisku? APA YANG KALIAN LAKUKAN?” Jidhe berteriak keras, sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Wajah Jidhe terlihat jelas penuh amarah, merah padam dan sinis. Akal sehatnya sudah tertutup sempurna. Yang bisa ia katakan hanya kemarahan dalam pikirannya saja.
“Tidak perlu membentakku! Kau tidak lihat ada Tory disini?!” jawab Tyoppa berusaha setenang mungkin, sebagian hatinya masih diobrak-abrik perasaan sentimentilnya sendiri.
“Kalian pengkhianat!” bentak Jidhe keras.
Tyoppa mulai terpancing, “Apa yang kau katakan?” katanya sambil berjalan mendekati Jidhe, “Tutup mulutmu itu! Kau tidak tahu apa-apa!”
Tory geleng-geleng kepala, “Ini bisa jadi makin tidak baik.”
 “Tidak tahu apa-apa? Apa yang aku tidak tahu? Kau dulu juga pernah mencintai gadisku dan tadi kalian berduaan di tempat sepi ini. Kau kira apa yang bisa muncul dalam pikiranku?”
“Kau bodoh sekali Jidhe! Mudah sekali memanipulasimu! Bodoh!” ujar Tyoppa dengan senyum sinisnya.
Jidhe bergerak mendekati Tyoppa dan menghantamnya, kemudian Tyoppa membalas hantaman itu. Bebe menengahi dan berdiri diantara mereka.
“Bodoh?!”
Tyoppa menepis tangan Songgi yang bertengger dipundaknya, “Yak!”
“Apa-apaan kalian ini!” Bebe menatap Tyoppa dan memintanya pergi.
“Tidak kusangka akhirnya kalian akan main belakang begini! Aku kecewa padamu. Minni itu gadisku. Hanya gadisku! Dia milikku seorang. Berani-beraninya kau!”
“Sudahlah Jidhe!”
“Iya Jidhe, tenangkan dirimu dulu!”
Tyoppa lebih memilih pergi, tapi Jidhe terus berbicara sambil menyejajarkan langkahnya.
“Seharusnya aku tidak membiarkanmu berada dekat dengan kami. Musuh dalam selimut! Udang di balik batu! Busuk!”
“Kau ini benar-benar ingin berkelahi denganku!” bentak Tyoppa emosi, melangkah maju dan mendorong tubuh Jidhe kasar. Tanda-tanda menuju perkelahian fisik makin jelas terlihat, “Apa hanya pikiran buruk saja yang ada diotakmu? Kau tidak tahu apa-apa dan diamlah!”
“Ini bisa jadi semakin buruk,” sela Tory sambil menggaruk kepalanya.
“Melerai mereka berdua akan sangat menguras tenaga.”
 “Ahk! Benar kata Minni. Memang ini yang akan terjadi. Kau bodoh sekali Jidhe. Ku tidak tahu apa-apa tentangnya!”
Jidhe tertawa sinis, “Sepertinya sudah banyak sekali ya yang kalian bicarakan berdua sampai sempat membahas tentangku. Busuk!”
“Pikirkan baik-baik atau kau akan menyesalinya seumur hidupmu, Boy! Minni itu!” tenggorokan Tyoppa tercekat, gerakannya ditahan oleh Songgi, “Dia tidak seperti yang kau bayangkan sekarang! Hanya sebesar itu kah rasa cintamu? Dengan mudah kau bisa mencelanya sekarang. Mengata-ngatainya seperti ini. Pikiranmu yang busuk, Jidhe!”
“Tutup mulutmu!” Jidhe melayangkan tinjunya.
“Benar, pertarungan ini tidak bisa terelakkan,” desis Bebe dalam geraknya yang menahan tubuh Jidhe.
Tory menahan tubuh Tyoppa. Wajah mereka sudah cukup seimbang mendapatkan pukulan. Pertarungan ini harus segera dihentikan. Jika tidak, mungkin salah satu dari mereka harus dilarikan ke rumah sakit. Lebih tepatnya, ruang jenasah rumah sakit.
“Ini mulai menjadi sangat merepotkan.”
Bebe dan Songgi sampai harus mendorong tubuh Jidhe ke belakang untuk menahan gerakan majunya. Benar-benar susah melerai dua orang ini. Walaupun Jidhe punya postur tubuh yang lebih kecil daripada Tyoppa, namun tidak dengan kekuatannya. Tyoppa sudah sempat tersungkur di tanah dan itu bukti bahwa Jidhe tidak setengah hati berkelahi dan memukul. Jidhe benar-benar murka.
“Ini bisa berakhir pada kematian.”
“Yak! Mati sajalah kalian!” bentak Bebe sambil melepaskan cengkraman tangannya pada Jidhe.
“Kalian berhentilah!” ujar Songgi mulai frustasi, “Kita ini kawan kan!”
Beruntung Jidhe tidak melanjutkan amukannya, ia beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Tyoppa, Songgi, Bebe dan Tory disana. Tyoppa menatap punggung Jidhe yang mulai menjauh.
“Kau itu menyebalkan Jidhe.”


Jidhe’s mind
Rasanya sakit. Seluruh tubuhku sakit. Duduk sakit, berdiri sakit, terlentang sakit. Semua posisi, semua titik. Semuanya terasa sakit. Beginikah rasanya sakit hati? Seluruhnya terasa sakit. Beginikah rasanya dikecewakan?
Berhari-hari sudah aku lewati sambil berusaha menjadi orang baik. Berhenti dalam dunia gelap jalanan. Aku mulai menata hidupku demi dia, demi gadisku. Aku mengubah kebiasaanku. Aku mengubah hidupku agar aku pantas bersanding dengannya di altar suci itu. Di altar suci pernikahan itu suatu saat nanti.
Sejak pertama bertemu, kuputuskan untuk menjadikannya tujuan hidupku. Bernafas untuknya.  Tertawa karenanya. Bahagia bersamanya. Semuanya tentang dia. Tapi sekarang apa yang terjadi. Teganya ia membuangku seperti ini. Lalu aku harus bagaimana sekarang? Harus kuapakan hidupku ini?
“Minniku.”
Aku ingin bertemu dengannya. Berhadapan dengannya dan menuntaskan masalah ini. Aku tidak bisa kehilangannya. Aku ingin terus bersamanya.
“Tidakkah kau ingat masa indah kita bersama Minni? Kenapa kau pergi dariku?” aku menatap miris televisi kecil yang menayangkan video kebersamaanku dengannya. Ini bukan obat, tapi racun. Video itu hanya membuatku semakin tersiksa!
***
“Ini bisa menjadi semakin menyakitkan,” kata Tory sambil menatap kesatu arah.
Ekspresi apa yang harus kutunjukkan? Aku melihat gadisku dan Tyoppa duduk bersama di dalam sebuah mobil. Minni, tidakkah kau bisa merasakan rasa rindu yang membunuhku perlahan ini. Minni aku merindukanmu. Aku hanya bisa menatap gadisku tanpa kedip. Sial! Aku merindukannya!
“Ini mulai membuatku ikut merasa sakit.”
Songgi juga ikut bersuara, “Waktu yang tidak tepat. Buruk! Bebe, tancap gasmu!”
Tidak! Tidak boleh pergi! Aku harus bicara dengannya!
“Mwo! Gawat! Bebe, Jidhe keluar.”
Aku masih sempat mendengar teriakan Songgi sebelum akhirnya telingaku kehilangan kemampuannya.
“Sialan kalian berdua!”
Tyoppa memandangku sinis. Seenaknya ia merangkul pundak gadisku! Tidak! Dia gadisku!
“Tyoppa!!!” bentakku keras, “Minni,” bentakku lemah .
Tangan Minni mengenggam tangan Tyoppa yang merangkul pundaknya. Minni, apa kau ingin membunuhku?!
“Tyoppa! Keluar kau! Kurang ajar kau!”
Minni hanya menatapku. Emosiku memuncak. Mobil ini harus kuhancurkan!
“Hentikan Jidhe! Sebaiknya kita pergi! Tory bantu aku!”
“Lihatlah dirimu Jidhe. Mana ada gadis yang mau bersama dengan laki-laki beringasan sepertimu. Mereka semua akan takut dibunuh olehmu,” teriak Tyoppa dari dalam mobil. Orang ini benar-benar minta dihabisi nyawanya! ”Ikhlaskanlah Minni untukku. Dia akan lebih bahagia bersamaku. Tidak perlu takut mati sia-sia karena memilih bersamamu.”
Aku tertegun. Mulutku kelu. Badanku membeku. Kata-kata Tyoppa sangat berefek padaku. Apa katanya tadi? Takut mati sia-sia? Apa karena aku seperti ini Minni meninggalkanku? Minni takut padaku? Minni? Aku menatapnya sedih. Minniku.
“Oke! Terserah kalian saja! Lakukan sesukamu!” akhirnya kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
Aku menatap Minni sekali lagi. Ia bahkan tidak berusaha membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Minni, benarkah hanya sampai disini saja?
***
Sudah kubilang rasanya sangat menyakitkan. Setiap sel dalam tubuhku berteriak kesakitan. Semakin lama semakin terasa. Saking sakitnya sampai seluruh tubuhku mulai mati rasa.
“Minni. Minni. Minni.”
Tidak bisa semudah itu aku melupakanmu. Aku berjalan melawan arus pejalan kaki. Aku sadar ini salah. Aku hanya membuat pejalan kaki yang lain tidak nyaman berjalan. Tapi, aku tidak peduli. Hatiku kosong, rasanya pikiranku juga kosong.
“Minniku. Minniku sayang.”
Kaulah hidupku dan sekarang aku harus bagaimana? Minni, jangan seperti ini. Aku sanggup hidup tanpamu Minni. Aku sanggup! Tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku sanggup hidup tanpamu tapi sebenarnya tidak pernah sanggup melepaskanmu. Apa yang bisa kulakukan? Perasaan ini tidak enak.
Kucoba melempar semua barang yang ada dihadapanku. Menampik kasar gelar diatas meja. Merobek bantal dan membiarkan isinya beterbangan mengotori ruangan. Menjatuhkan meja, melempar buku-buku di rak. Menghancurkan pot bunga. Aku mengamuk! Aku berharap amukan ini akan meredakan emosiku! Dan menghilangkan sedikit saja rasa sakit ini.
“MINNI!!!”
Aku tenggelam dalam tangisku.


Minni’s mind
Duniaku berputar begitu cepat. Sejak aku dilahirkan, sampai pada hari ini. Kalau boleh aku ingin meminta Tuhan memperpanjang umurku. Kalau boleh. Aku minta sedikit lagi saja. Aku ingin bisa lebih lama lagi bersamanya. Jidheku yang malang. Maafkan aku.
Rambutku mulai terlepas dengan mudahnya. Sehelai, dua helai dan akhir-akhir ini bisa langsung segenggaman tangan. Rambutku mulai rapuh akibat kemoterapi. Harapan hidupku tidak begitu baik. Sepertinya, aku harus siap dijemput pencabut nyawa kapan saja.
“Aku mengenalnya dengan baik Tyoppa. Akan lebih mudah baginya melepasku jika ia membenciku. Kau juga tahu itu kan?”
“Bukan begini caranya!”
“Kumohon bantu aku Tyoppa,” pintaku padanya.
“Kau tahu betul ini akan menyakitinya.”
“Itu lebih baik. Ya, lebih baik begitu.”
Aku tersenyum tipis. Tidak rela sebenarnya. Aku tidak ingin sedetikpun pergi meninggalkannya apalagi membuatnya membenciku. Tapi, aku ingin hidupnya tetap baik walaupun sudah tidak ada aku lagi disisinya.
“Berikan ini padanya,” pinta Minni.
Kulepas cincin yang sudah setahun belakangan melekat erat di jari manisku. Jidhe, maafkan aku. Perlahan aku melepasnya, aku tidak rela. Tapi ini harus kulakukan!
“Tolong berikan padanya nanti. Ya Tyoppa? Tentu aku bisa mengandalkanmu kan?”
“Kau, kau harus mampu bertahan. Kuat ya!”
Dari sudut mata aku bisa melihat sosok Jidhe di sisi sana. Aku tidak sanggup bertemu dengannya sekarang. Aku harus pergi secepatnya.
***
Tidak kusangka kemarahan Jidhe akan sebesar itu. Baguslah. Tapi, “Maafkan aku Tyoppa. Sampai ia memukulmu seperti ini. Maafkan aku,” aku menyentuh bekas luka di wajah Tyoppa.
“Bodoh! Kenapa kau yang meminta maaf?”
“Karena semua ini aku yang memicunya.”
Sebesar itukah kemarahanmu? Itu karena kau mencintaiku sebesar itu ataukah karena kau benar-benar kecewa dan tidak mempercayaiku sedikitpun, Jidhe?
“Sialan kalian berdua!”
Suara Jidhe mengejutkanku. Sejak kapan ia berada di depan mobil kami?
Tyoppa menatapnya tanpa berkedip.
“Dia belum dingin juga! Ini mau dilanjutkan?”
“Apa?”
“Sandiwara?”
“Tidak usah! Aku tidak mau kalian berkelahi lagi!”
“Tidak akan berkelahi. Anak itu juga harus diberi pelajaran,” Tyoppa merangkul pundakku, “Ikuti saja!”
“Tyoppa!!!” bentak Jidhe keras, tapi bentakannya melemah ketika menyebutkan namaku. Maafkan aku Jidhe.
Kugenggam tangan Tyoppa yang ada di pundakku. Memandangnya tanpa perasaan. Aku menatapnya seakan merendahkan dirinya.
“Tyoppa! Keluar kau! Kurang ajar kau!”
Jidhe terlihat mulai tidak bisa mengontrol emosinya. Sepertinya ia hendak menghancurkan mobil ini.
“Tyoppa, berhenti saja. Ternyata aku tidak sanggup melihatnya tersiksa begini.”
Belum sempat aku bergerak, Bebe datang mendekat, “Hentikan Jidhe! Sebaiknya kita pergi! Tory bantu aku!”
“Lihatlah dirimu Jidhe. Mana ada gadis yang mau bersama dengan laki-laki beringasan sepertimu. Mereka semua akan takut dibunuh olehmu,” teriak Tyoppa dari dalam mobil, ”Ikhlaskanlah Minni untukku. Dia akan lebih bahagia bersamaku. Tidak perlu takut mati sia-sia karena memilih bersamamu.”
Beberapa menit berlalu dalam hening, “Oke! Terserah kalian saja! Lakukan sesukamu!”
Hatiku hancur. Jidhe melepasku?
“Jidhe,” desisku.
***
“Jidhe. Jidhe. Jidhe,” desisku sepanjang jalan, “Maafkan aku. Kumohon maafkan aku.”
Menyakitimu, tidak kusangka akan sesakit ini rasanya. Jidhe maafkan aku. Aku menyakitimu seperti ini. Maafkan aku. Jidhe. Aku merindukanmu. Jidhe, ternyata ini sangat menyakitkan.
“Ahh, rambut ini,” segenggam rambut kembali terlepas.
Dalam kebisuan, aku menangis.


Author’s mind
Jidhe masih mengamuk dan menghancurkan seisi ruangan itu. Semua berantakan. Semua berserakan. Tidak ada benda yang tersisa utuh seperti semula. Ruangan ini menjadi lebih berantakan daripada daerah manapun yang terkena bencana.
“Mwo! Tory! Jangan berbuat apapun!” Songgi menghalangi Tory yang hendak masuk ke dalam ruangan, “Kamu bisa babak belur kalau masuk sekarang! Barang-barang itu saja jadi tak berbentuk lagi. Amukan Jidhe tidak bisa diredakan oleh siapapun.”
“Ini mulai membuatku kesal.”
“Keinginan Minni, ini keinginannya yang terakhir, Tory!”
“Saos tartar! Ini seharusnya menjadi kisah yang indah!”
Songgi menghela nafas panjang, “Harusnya mereka bersama selamanya. Mereka pasangan yang bisa membuat iri siapapun yang melihatnya. Namun kenapa akhirnya harus seperti ini. Jidhe, apa yang akan terjadi pada Jidhe? Apa yang harus kita lakukan untuk Jidhe?”
“Ini tidak akan mudah baginya.”
***
Bebe menatap Tyoppa dan Minni di dalam ruangan rumah sakit. Minni menutupi kepalanya dengan topi hangat. Wajahnya yang putih makin terlihat putih dan pucat. Sesekali Minni terlihat termenung sambil menyentuh cincin yang ada di jari manisnya.
“Aku tidak bisa memberikannya pada Jidhe.”
“Tyoppa,” ujar Minni lemah.
“Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi,” kata Bebe lemah, “Yak! Jidhe harus tahu semuanya. Jidhe berhak tahu!” Bebe segera menghubungi Jidhe dan menceritakan semuanya yang terjadi. Tentang Minni dan penyakitnya, tentang umur Minni dan keadaan Minni yang kritis. Tentang sandiwara antara Minni dan Tyoppa. Semuanya. Bebe menjelaskan semuanya.
Di seberang sana, Jidhe sangat terkejut mendengar apa yang Bebe ungkapkan. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang dan ia mengalami serangan panik seketika. Jidhe merasa dirinya telah berlaku sangat bodoh dan jahat. Beraninya ia begitu saja percaya dan sakit hati. Secepat itu berfikiran buruk. Berfikiran buruk bahkan pada Minni, gadis paling berharga dalam hidupnya saat ini.
“Benar kata Tyoppa. Rasa cintaku. Apa hanya sebesar ini rasa cintaku untuk Minni. Kenapa dengan mudahnya aku membencinya dan percaya dia berkhianat? Oh Tuhan! Minniku!” Jidhe berteriak frustasi, “Tolong bertahanlah! Kumohon selamatkan dia!”
Tanpa pikir panjang Jidhe bergerak segera menuju rumah sakit tempat Minni di rawat.
***
Kondisi Minni melemah. Minni masih tersadar tapi ia sudah tidak bisa menggerakkan anggota badannya lagi. Minni segera dilarikan ke ruang operasi.

Jangan melihat kebelakang apalagi kembali.
Jangan cari aku lagi dan teruslah hidup seperti itu.
Karena aku tidak menyesal mencintaimu,
Ambillah semua kenangan indah kita.
Jadi aku bisa menahannya.
Jadi aku bisa menanggungnya.
Kau seharusnya bahagia bila kau seperti ini.
Aku menjadi lemah hari demi hari.

Jidhe sampai di rumah sakit. Orang pertama yang dilihatnya adalah Tyoppa.
“Maaf. Kata itu dari Minni. Minni memintaku memberikan cincin ini padamu. Tadi sudah aku kembalikan dan sudah dipakainya lagi. Tapi dilepas lagi,” Tyoppa menghela nafasnya yang mulai terasa berat lagi, “dia bukannya tidak mau lagi bersamamu tapi dia tidak bisa. Dan maafkan aku. Kemarin, aku terlalu emosional,” Tyoppa mengambil jeda hela nafas, “kondisinya kritis. Dia sedang dirawat intensif. Temuilah dia.”
Setelah berkata seperti itu, Tyoppa pergi meninggalkan Jidhe sendiri.
“Minni,” ujar Jidhe sambil menatap cincin mereka, “Minni. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kumohon jangan pergi!” Jidhe menepuk dadanya sendiri, “Aku tidak ingin kehilanganmu Minni!”
Jidhe sudah tidak bisa membendung air matanya lagi. Ia menangis sejadinya. Menangisi kebodohannya dan semua hal remeh yang terlanjur terjadi dan menjadi begitu menyakitkan karena egonya sendiri.
***
“Jidhe,” suara Songgi menyambut kedatangan Jidhe.
Tak seberapa lama, pintu ruang operasi terbuka. Tempat tidur Minni dibawa keluar. Jidhe menatap Minni.
“Minniku?” panggil Jidhe, “Minni, ini aku. Bangunlah, buka matamu,” tapi Minni sama sekali tidak bergerak, tubuhnya dingin dan tidak ada gerakan nafas disana, “Apa iya kau ingin pergi dengan cara seperti ini, heh? Minni? Maafkan aku.”
Jidhe menundukkan kepalanya sedalam-dalamnya. Semua sudah terlambat dan sudah benar-benar berakhir. Minni sudah pergi.

Oh Girl, I cry, cry.
You’re my all, say goodbye, bye.
Oh My love, don’t lie, lie.
You’re my heart, say goodbye.



Nb: jujur saja ya aku gak tahu reader bakal ngerti gak sama jalan cerita yang aku buat ini. Cerita ini berkaitan erat sama movie videonya “Haru Haru” punyanya Bigbang. Aku suka banget sama MV itu. Ekspresi member Bigbangnya sendiri, mata dan gesture mereka sukses bikin aku ngegalau setiap kali selese nontoninnya. Dari MV itulah aku beride begini. Menulis isi pikiranku tentang jalan cerita MV itu. I love G-Dragon so much! Dia keren sekalay disini. Terima kasih sudah nyempetin baca ya. Salam love, money and value ya! Apa seh ==”

dan ini linknya  di YouTube :))
Haru Haru (Bigbang - Korean Boyband)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tahu kamu memahami apa yang kamu ingin sampaikan dengan kata-kata. Aku tahu kamu orang baik dan tidak akan bersikap konyol dan kekanakan dengan berkomentar yang tidak sepantasnya. Aku percaya padamu, komentator.