Leave
Finally, I realized that I am nothing without you.
I was so wrong, forgive me
Tyoppa’s mind
Aku tidak sanggup mendengar lagi kata-kata yang diucapkannya.
Ini menyakitkan. Kuraih tangannya. Berharap dengan cara itu bisa sedikit
menguatkannya. Kepala dan bola mataku bergerak acak, seacak pikiranku saat ini.
“Bukan begini caranya,” kataku lemah.
Kugenggam jemarinya. Dingin. Jemari Minni terasa dingin. Mata
Minni memancarkan rasa lelah dan putus asa. Gadis ini membuatku nyaris gila.
Kau, gadis kecil kami, maafkan aku tidak bisa benar-benar melindungimu. Aku
membelai kepalanya dengan rasa sayang.
“Kumohon bantu aku Tyoppa,” ujarnya memelas.
“Kau tahu betul ini akan menyakitinya.”
“Itu lebih baik. Ya, lebih baik begitu.”
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Minni, lebih baik Kau
tidak usah tersenyum jika memang tidak ingin. Senyummu itu makin membuatku
sakit.
“Berikan ini padanya,” pinta Minni.
Minni melepas genggaman tanganku, kemudian secara perlahan
juga melepas sebuah cincin yang melekat di jari manisnya. Aku tahu persis
cincin apa itu. Minni meletakkan cincin itu di telapak tanganku. Ada sedikit
keraguan dalam gerak tanggannya.
“Tolong berikan padanya nanti. Ya Tyoppa? Tentu aku bisa
mengandalkanmu kan?”
“Kau,” mati-matian aku menahan rasa sentimentil yang
membuncah dalam hatiku, “kau harus mampu bertahan,” aku berharap diriku masih
tetap terlihat tenang saat ini. Ku tepuk pundaknya, “Kuat ya!”
Hanya senyuman yang diberikannya padaku. Minni tidak berkata
apa-apa lagi. Ia beranjak pergi dalam sendunya. Meninggalkanku dalam rasa
sentimentil yang menyakitkan sekaligus menggelikan ini. Ah, benar, gadis ini
membuatku gila.
Jidhe’s mind
Aku tidak percaya dengan penglihatanku hari ini. Sedang apa
mereka berduaan disana? Hanya berduaan di jalan kecil yang sepi ini. Sedang apa
mereka? Dan hey! Jangan usap kepalanya seperti itu! Dia itu gadisku!
“Mwo! Itu Tyoppa kan?” ujar Songgi, “dan Minni,” tambahnya sedikit
melengking.
“Ya,” jawab Bebe singkat.
“Itu Tyoppa dan Gadisku.”
Aku melihat Tyoppa mengenggam tangan gadisku. Panas rasanya.
Suasana yang tadinya kurasa dingin mendadak membuatku gerah begini. Beraninya
ia menyentuh gadisku. Perasaanku makin tak keruan.
“Apa yang mereka bicarakan?” setidaknya aku masih berusaha
menahan emosiku.
“Ayo!”
Seperti bisa membaca pikiran, Bebe menepuk pundakku, mengajakku
beranjak dari tempat kami berdiri dan mendekati mereka.
“Mwo!” pekik Songgi.
Minni, Minniku, gadisku melepas cincin yang semula tersemat
di jari manisnya. Aku tahu benar cincin apa itu. Di lingkaran dalam cincin itu
terukir nama kami. Namaku dan Minni. Kenapa dilepas? Kenapa diberikan kepada
Tyoppa? Bukankah itu cincin yang berharga. Aku mematung dan tidak bisa bergerak
maju. Begitu pula Bebe dan Songgi.
“Minni,” gumamku.
Tyoppa kembali menyentuh gadisku. Sekarang pundaknya. Tidak!
Ini tidak boleh dibiarkan saja! Emosiku tidak bisa kutahan lagi. Cincin Minni
yang sama dengan yang kugunakan di jari manisku ini, aku harus tahu kenapa
dilepaskannya!
Author’s mind
“Ku kira kau kawanku! Tapi apa yang barusan kau lakukan
berdua dengan gadisku? APA YANG KALIAN LAKUKAN?” Jidhe berteriak keras, sudah
tidak bisa menahan emosinya lagi. Wajah Jidhe terlihat jelas penuh amarah, merah
padam dan sinis. Akal sehatnya sudah tertutup sempurna. Yang bisa ia katakan
hanya kemarahan dalam pikirannya saja.
“Tidak perlu membentakku! Kau tidak lihat ada Tory disini?!”
jawab Tyoppa berusaha setenang mungkin, sebagian hatinya masih diobrak-abrik
perasaan sentimentilnya sendiri.
“Kalian pengkhianat!” bentak Jidhe keras.
Tyoppa mulai terpancing, “Apa yang kau katakan?” katanya
sambil berjalan mendekati Jidhe, “Tutup mulutmu itu! Kau tidak tahu apa-apa!”
Tory geleng-geleng kepala, “Ini bisa jadi makin tidak baik.”
“Tidak tahu apa-apa?
Apa yang aku tidak tahu? Kau dulu juga pernah mencintai gadisku dan tadi kalian
berduaan di tempat sepi ini. Kau kira apa yang bisa muncul dalam pikiranku?”
“Kau bodoh sekali Jidhe! Mudah sekali memanipulasimu! Bodoh!”
ujar Tyoppa dengan senyum sinisnya.
Jidhe bergerak mendekati Tyoppa dan menghantamnya, kemudian
Tyoppa membalas hantaman itu. Bebe menengahi dan berdiri diantara mereka.
“Bodoh?!”
Tyoppa menepis tangan Songgi yang bertengger dipundaknya, “Yak!”
“Apa-apaan kalian ini!” Bebe menatap Tyoppa dan memintanya
pergi.
“Tidak kusangka akhirnya kalian akan main belakang begini! Aku
kecewa padamu. Minni itu gadisku. Hanya gadisku! Dia milikku seorang.
Berani-beraninya kau!”
“Sudahlah Jidhe!”
“Iya Jidhe, tenangkan dirimu dulu!”
Tyoppa lebih memilih pergi, tapi Jidhe terus berbicara sambil
menyejajarkan langkahnya.
“Seharusnya aku tidak membiarkanmu berada dekat dengan kami.
Musuh dalam selimut! Udang di balik batu! Busuk!”
“Kau ini benar-benar ingin berkelahi denganku!” bentak Tyoppa
emosi, melangkah maju dan mendorong tubuh Jidhe kasar. Tanda-tanda menuju
perkelahian fisik makin jelas terlihat, “Apa hanya pikiran buruk saja yang ada diotakmu?
Kau tidak tahu apa-apa dan diamlah!”
“Ini bisa jadi semakin buruk,” sela Tory sambil menggaruk
kepalanya.
“Melerai mereka berdua akan sangat menguras tenaga.”
“Ahk! Benar kata Minni.
Memang ini yang akan terjadi. Kau bodoh sekali Jidhe. Ku tidak tahu apa-apa
tentangnya!”
Jidhe tertawa sinis, “Sepertinya sudah banyak sekali ya yang
kalian bicarakan berdua sampai sempat membahas tentangku. Busuk!”
“Pikirkan baik-baik atau kau akan menyesalinya seumur
hidupmu, Boy! Minni itu!” tenggorokan Tyoppa tercekat, gerakannya ditahan oleh
Songgi, “Dia tidak seperti yang kau bayangkan sekarang! Hanya sebesar itu kah rasa
cintamu? Dengan mudah kau bisa mencelanya sekarang. Mengata-ngatainya seperti
ini. Pikiranmu yang busuk, Jidhe!”
“Tutup mulutmu!” Jidhe melayangkan tinjunya.
“Benar, pertarungan ini tidak bisa terelakkan,” desis Bebe
dalam geraknya yang menahan tubuh Jidhe.
Tory menahan tubuh Tyoppa. Wajah mereka sudah cukup seimbang
mendapatkan pukulan. Pertarungan ini harus segera dihentikan. Jika tidak,
mungkin salah satu dari mereka harus dilarikan ke rumah sakit. Lebih tepatnya,
ruang jenasah rumah sakit.
“Ini mulai menjadi sangat merepotkan.”
Bebe dan Songgi sampai harus mendorong tubuh Jidhe ke
belakang untuk menahan gerakan majunya. Benar-benar susah melerai dua orang
ini. Walaupun Jidhe punya postur tubuh yang lebih kecil daripada Tyoppa, namun tidak
dengan kekuatannya. Tyoppa sudah sempat tersungkur di tanah dan itu bukti bahwa
Jidhe tidak setengah hati berkelahi dan memukul. Jidhe benar-benar murka.
“Ini bisa berakhir pada kematian.”
“Yak! Mati sajalah kalian!” bentak Bebe sambil melepaskan
cengkraman tangannya pada Jidhe.
“Kalian berhentilah!” ujar Songgi mulai frustasi, “Kita ini
kawan kan!”
Beruntung Jidhe tidak melanjutkan amukannya, ia beranjak dari
tempat itu. Meninggalkan Tyoppa, Songgi, Bebe dan Tory disana. Tyoppa menatap
punggung Jidhe yang mulai menjauh.
“Kau itu menyebalkan Jidhe.”
Jidhe’s mind
Rasanya sakit. Seluruh tubuhku sakit. Duduk sakit, berdiri sakit,
terlentang sakit. Semua posisi, semua titik. Semuanya terasa sakit. Beginikah
rasanya sakit hati? Seluruhnya terasa sakit. Beginikah rasanya dikecewakan?
Berhari-hari sudah aku lewati sambil berusaha menjadi orang
baik. Berhenti dalam dunia gelap jalanan. Aku mulai menata hidupku demi dia,
demi gadisku. Aku mengubah kebiasaanku. Aku mengubah hidupku agar aku pantas
bersanding dengannya di altar suci itu. Di altar suci pernikahan itu suatu saat
nanti.
Sejak pertama bertemu, kuputuskan untuk menjadikannya tujuan
hidupku. Bernafas untuknya. Tertawa
karenanya. Bahagia bersamanya. Semuanya tentang dia. Tapi sekarang apa yang
terjadi. Teganya ia membuangku seperti ini. Lalu aku harus bagaimana sekarang?
Harus kuapakan hidupku ini?
“Minniku.”
Aku ingin bertemu dengannya. Berhadapan dengannya dan
menuntaskan masalah ini. Aku tidak bisa kehilangannya. Aku ingin terus
bersamanya.
“Tidakkah kau ingat masa indah kita bersama Minni? Kenapa kau
pergi dariku?” aku menatap miris televisi kecil yang menayangkan video kebersamaanku
dengannya. Ini bukan obat, tapi racun. Video itu hanya membuatku semakin
tersiksa!
***
“Ini bisa menjadi semakin menyakitkan,” kata Tory sambil
menatap kesatu arah.
Ekspresi apa yang harus kutunjukkan? Aku melihat gadisku dan
Tyoppa duduk bersama di dalam sebuah mobil. Minni, tidakkah kau bisa merasakan
rasa rindu yang membunuhku perlahan ini. Minni aku merindukanmu. Aku hanya bisa
menatap gadisku tanpa kedip. Sial! Aku merindukannya!
“Ini mulai membuatku ikut merasa sakit.”
Songgi juga ikut bersuara, “Waktu yang tidak tepat. Buruk!
Bebe, tancap gasmu!”
Tidak! Tidak boleh pergi! Aku harus bicara dengannya!
“Mwo! Gawat! Bebe, Jidhe keluar.”
Aku masih sempat mendengar teriakan Songgi sebelum akhirnya
telingaku kehilangan kemampuannya.
“Sialan kalian berdua!”
Tyoppa memandangku sinis. Seenaknya ia merangkul pundak
gadisku! Tidak! Dia gadisku!
“Tyoppa!!!” bentakku keras, “Minni,” bentakku lemah .
Tangan Minni mengenggam tangan Tyoppa yang merangkul
pundaknya. Minni, apa kau ingin membunuhku?!
“Tyoppa! Keluar kau! Kurang ajar kau!”
Minni hanya menatapku. Emosiku memuncak. Mobil ini harus
kuhancurkan!
“Hentikan Jidhe! Sebaiknya kita pergi! Tory bantu aku!”
“Lihatlah dirimu Jidhe. Mana ada gadis yang mau bersama
dengan laki-laki beringasan sepertimu. Mereka semua akan takut dibunuh olehmu,”
teriak Tyoppa dari dalam mobil. Orang ini benar-benar minta dihabisi nyawanya!
”Ikhlaskanlah Minni untukku. Dia akan lebih bahagia bersamaku. Tidak perlu
takut mati sia-sia karena memilih bersamamu.”
Aku tertegun. Mulutku kelu. Badanku membeku. Kata-kata Tyoppa
sangat berefek padaku. Apa katanya tadi? Takut mati sia-sia? Apa karena aku
seperti ini Minni meninggalkanku? Minni takut padaku? Minni? Aku menatapnya
sedih. Minniku.
“Oke! Terserah kalian saja! Lakukan sesukamu!” akhirnya kata
itu keluar begitu saja dari mulutku.
Aku menatap Minni sekali lagi. Ia bahkan tidak berusaha
membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Minni, benarkah hanya sampai disini
saja?
***
Sudah kubilang rasanya sangat menyakitkan. Setiap sel dalam
tubuhku berteriak kesakitan. Semakin lama semakin terasa. Saking sakitnya
sampai seluruh tubuhku mulai mati rasa.
“Minni. Minni. Minni.”
Tidak bisa semudah itu aku melupakanmu. Aku berjalan melawan
arus pejalan kaki. Aku sadar ini salah. Aku hanya membuat pejalan kaki yang
lain tidak nyaman berjalan. Tapi, aku tidak peduli. Hatiku kosong, rasanya
pikiranku juga kosong.
“Minniku. Minniku sayang.”
Kaulah hidupku dan sekarang aku harus bagaimana? Minni,
jangan seperti ini. Aku sanggup hidup tanpamu Minni. Aku sanggup! Tapi bukan
itu yang kuinginkan. Aku sanggup hidup tanpamu tapi sebenarnya tidak pernah
sanggup melepaskanmu. Apa yang bisa kulakukan? Perasaan ini tidak enak.
Kucoba melempar semua barang yang ada dihadapanku. Menampik
kasar gelar diatas meja. Merobek bantal dan membiarkan isinya beterbangan
mengotori ruangan. Menjatuhkan meja, melempar buku-buku di rak. Menghancurkan
pot bunga. Aku mengamuk! Aku berharap amukan ini akan meredakan emosiku! Dan
menghilangkan sedikit saja rasa sakit ini.
“MINNI!!!”
Aku tenggelam dalam tangisku.
Minni’s mind
Duniaku berputar begitu cepat. Sejak aku dilahirkan, sampai
pada hari ini. Kalau boleh aku ingin meminta Tuhan memperpanjang umurku. Kalau
boleh. Aku minta sedikit lagi saja. Aku ingin bisa lebih lama lagi bersamanya.
Jidheku yang malang. Maafkan aku.
Rambutku mulai terlepas dengan mudahnya. Sehelai, dua helai
dan akhir-akhir ini bisa langsung segenggaman tangan. Rambutku mulai rapuh
akibat kemoterapi. Harapan hidupku tidak begitu baik. Sepertinya, aku harus
siap dijemput pencabut nyawa kapan saja.
“Aku mengenalnya dengan baik Tyoppa. Akan lebih mudah baginya
melepasku jika ia membenciku. Kau juga tahu itu kan?”
“Bukan begini caranya!”
“Kumohon bantu aku Tyoppa,” pintaku padanya.
“Kau tahu betul ini akan menyakitinya.”
“Itu lebih baik. Ya, lebih baik begitu.”
Aku tersenyum tipis. Tidak rela sebenarnya. Aku tidak ingin
sedetikpun pergi meninggalkannya apalagi membuatnya membenciku. Tapi, aku ingin
hidupnya tetap baik walaupun sudah tidak ada aku lagi disisinya.
“Berikan ini padanya,” pinta Minni.
Kulepas cincin yang sudah setahun belakangan melekat erat di
jari manisku. Jidhe, maafkan aku. Perlahan aku melepasnya, aku tidak rela. Tapi
ini harus kulakukan!
“Tolong berikan padanya nanti. Ya Tyoppa? Tentu aku bisa
mengandalkanmu kan?”
“Kau, kau harus mampu bertahan. Kuat ya!”
Dari sudut mata aku bisa melihat sosok Jidhe di sisi sana.
Aku tidak sanggup bertemu dengannya sekarang. Aku harus pergi secepatnya.
***
Tidak kusangka kemarahan Jidhe akan sebesar itu. Baguslah.
Tapi, “Maafkan aku Tyoppa. Sampai ia memukulmu seperti ini. Maafkan aku,” aku
menyentuh bekas luka di wajah Tyoppa.
“Bodoh! Kenapa kau yang meminta maaf?”
“Karena semua ini aku yang memicunya.”
Sebesar itukah kemarahanmu? Itu karena kau mencintaiku
sebesar itu ataukah karena kau benar-benar kecewa dan tidak mempercayaiku
sedikitpun, Jidhe?
“Sialan kalian berdua!”
Suara Jidhe mengejutkanku. Sejak kapan ia berada di depan
mobil kami?
Tyoppa menatapnya tanpa berkedip.
“Dia belum dingin juga! Ini mau dilanjutkan?”
“Apa?”
“Sandiwara?”
“Tidak usah! Aku tidak mau kalian berkelahi lagi!”
“Tidak akan berkelahi. Anak itu juga harus diberi pelajaran,”
Tyoppa merangkul pundakku, “Ikuti saja!”
“Tyoppa!!!” bentak Jidhe keras, tapi bentakannya melemah
ketika menyebutkan namaku. Maafkan aku Jidhe.
Kugenggam tangan Tyoppa yang ada di pundakku. Memandangnya
tanpa perasaan. Aku menatapnya seakan merendahkan dirinya.
“Tyoppa! Keluar kau! Kurang ajar kau!”
Jidhe terlihat mulai tidak bisa mengontrol emosinya. Sepertinya
ia hendak menghancurkan mobil ini.
“Tyoppa, berhenti saja. Ternyata aku tidak sanggup melihatnya
tersiksa begini.”
Belum sempat aku bergerak, Bebe datang mendekat, “Hentikan
Jidhe! Sebaiknya kita pergi! Tory bantu aku!”
“Lihatlah dirimu Jidhe. Mana ada gadis yang mau bersama
dengan laki-laki beringasan sepertimu. Mereka semua akan takut dibunuh olehmu,”
teriak Tyoppa dari dalam mobil, ”Ikhlaskanlah Minni untukku. Dia akan lebih
bahagia bersamaku. Tidak perlu takut mati sia-sia karena memilih bersamamu.”
Beberapa menit berlalu dalam hening, “Oke! Terserah kalian
saja! Lakukan sesukamu!”
Hatiku hancur. Jidhe melepasku?
“Jidhe,” desisku.
***
“Jidhe. Jidhe. Jidhe,” desisku sepanjang jalan, “Maafkan aku.
Kumohon maafkan aku.”
Menyakitimu, tidak kusangka akan sesakit ini rasanya. Jidhe
maafkan aku. Aku menyakitimu seperti ini. Maafkan aku. Jidhe. Aku merindukanmu.
Jidhe, ternyata ini sangat menyakitkan.
“Ahh, rambut ini,” segenggam rambut kembali terlepas.
Dalam kebisuan, aku menangis.
Author’s mind
Jidhe masih mengamuk dan menghancurkan seisi ruangan itu.
Semua berantakan. Semua berserakan. Tidak ada benda yang tersisa utuh seperti
semula. Ruangan ini menjadi lebih berantakan daripada daerah manapun yang
terkena bencana.
“Mwo! Tory! Jangan berbuat apapun!” Songgi menghalangi Tory
yang hendak masuk ke dalam ruangan, “Kamu bisa babak belur kalau masuk
sekarang! Barang-barang itu saja jadi tak berbentuk lagi. Amukan Jidhe tidak
bisa diredakan oleh siapapun.”
“Ini mulai membuatku kesal.”
“Keinginan Minni, ini keinginannya yang terakhir, Tory!”
“Saos tartar! Ini seharusnya menjadi kisah yang indah!”
Songgi menghela nafas panjang, “Harusnya mereka bersama
selamanya. Mereka pasangan yang bisa membuat iri siapapun yang melihatnya.
Namun kenapa akhirnya harus seperti ini. Jidhe, apa yang akan terjadi pada
Jidhe? Apa yang harus kita lakukan untuk Jidhe?”
“Ini tidak akan mudah baginya.”
***
Bebe menatap Tyoppa dan Minni di dalam ruangan rumah sakit. Minni
menutupi kepalanya dengan topi hangat. Wajahnya yang putih makin terlihat putih
dan pucat. Sesekali Minni terlihat termenung sambil menyentuh cincin yang ada
di jari manisnya.
“Aku tidak bisa memberikannya pada Jidhe.”
“Tyoppa,” ujar Minni lemah.
“Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi,” kata Bebe lemah,
“Yak! Jidhe harus tahu semuanya. Jidhe berhak tahu!” Bebe segera menghubungi
Jidhe dan menceritakan semuanya yang terjadi. Tentang Minni dan penyakitnya,
tentang umur Minni dan keadaan Minni yang kritis. Tentang sandiwara antara Minni
dan Tyoppa. Semuanya. Bebe menjelaskan semuanya.
Di seberang sana, Jidhe sangat terkejut mendengar apa yang Bebe
ungkapkan. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang dan ia mengalami serangan
panik seketika. Jidhe merasa dirinya telah berlaku sangat bodoh dan jahat.
Beraninya ia begitu saja percaya dan sakit hati. Secepat itu berfikiran buruk.
Berfikiran buruk bahkan pada Minni, gadis paling berharga dalam hidupnya saat
ini.
“Benar kata Tyoppa. Rasa cintaku. Apa hanya sebesar ini rasa
cintaku untuk Minni. Kenapa dengan mudahnya aku membencinya dan percaya dia
berkhianat? Oh Tuhan! Minniku!” Jidhe berteriak frustasi, “Tolong bertahanlah!
Kumohon selamatkan dia!”
Tanpa pikir panjang Jidhe bergerak segera menuju rumah sakit
tempat Minni di rawat.
***
Kondisi Minni melemah. Minni masih tersadar tapi ia sudah
tidak bisa menggerakkan anggota badannya lagi. Minni segera dilarikan ke ruang
operasi.
Jangan melihat kebelakang apalagi
kembali.
Jangan cari aku lagi dan teruslah
hidup seperti itu.
Karena aku tidak menyesal
mencintaimu,
Ambillah semua kenangan indah kita.
Jadi aku bisa menahannya.
Jadi aku bisa menanggungnya.
Kau seharusnya bahagia bila kau
seperti ini.
Aku menjadi lemah hari demi hari.
Jidhe sampai di rumah sakit. Orang
pertama yang dilihatnya adalah Tyoppa.
“Maaf. Kata itu dari Minni. Minni memintaku memberikan cincin
ini padamu. Tadi sudah aku kembalikan dan sudah dipakainya lagi. Tapi dilepas
lagi,” Tyoppa menghela nafasnya yang mulai terasa berat lagi, “dia bukannya
tidak mau lagi bersamamu tapi dia tidak bisa. Dan maafkan aku. Kemarin, aku
terlalu emosional,” Tyoppa mengambil jeda hela nafas, “kondisinya kritis. Dia
sedang dirawat intensif. Temuilah dia.”
Setelah berkata seperti itu, Tyoppa pergi meninggalkan Jidhe
sendiri.
“Minni,” ujar Jidhe sambil menatap cincin mereka, “Minni. Apa
yang harus aku lakukan sekarang? Kumohon jangan pergi!” Jidhe menepuk dadanya
sendiri, “Aku tidak ingin kehilanganmu Minni!”
Jidhe sudah tidak bisa membendung air matanya lagi. Ia
menangis sejadinya. Menangisi kebodohannya dan semua hal remeh yang terlanjur
terjadi dan menjadi begitu menyakitkan karena egonya sendiri.
***
“Jidhe,” suara Songgi menyambut kedatangan Jidhe.
Tak seberapa lama, pintu ruang operasi terbuka. Tempat tidur Minni
dibawa keluar. Jidhe menatap Minni.
“Minniku?” panggil Jidhe, “Minni, ini aku. Bangunlah, buka
matamu,” tapi Minni sama sekali tidak bergerak, tubuhnya dingin dan tidak ada
gerakan nafas disana, “Apa iya kau ingin pergi dengan cara seperti ini, heh?
Minni? Maafkan aku.”
Jidhe menundukkan kepalanya sedalam-dalamnya. Semua sudah
terlambat dan sudah benar-benar berakhir. Minni sudah pergi.
Oh Girl, I cry, cry.
You’re my all, say goodbye, bye.
Oh My love, don’t lie, lie.
You’re my heart, say goodbye.
Nb: jujur saja ya aku gak tahu reader bakal ngerti gak sama jalan cerita yang aku buat ini. Cerita ini berkaitan erat sama movie videonya “Haru Haru” punyanya Bigbang. Aku suka banget sama MV itu. Ekspresi member Bigbangnya sendiri, mata dan gesture mereka sukses bikin aku ngegalau setiap kali selese nontoninnya. Dari MV itulah aku beride begini. Menulis isi pikiranku tentang jalan cerita MV itu. I love G-Dragon so much! Dia keren sekalay disini. Terima kasih sudah nyempetin baca ya. Salam love, money and value ya! Apa seh ==”
dan ini linknya di YouTube :))
Haru Haru (Bigbang - Korean Boyband)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Aku tahu kamu memahami apa yang kamu ingin sampaikan dengan kata-kata. Aku tahu kamu orang baik dan tidak akan bersikap konyol dan kekanakan dengan berkomentar yang tidak sepantasnya. Aku percaya padamu, komentator.