Kamis, 25 Agustus 2011

Our Story : About Dika


Panas sekali pagi ini padahal belum jam seberapa. Guru olahraga kami hari ini begitu bersemangat, sampai-sampai dia lupa kalau jam mengajarnya sudah lewat lima belas menit. Baginya–guru olahraga kami–hal ini enteng. Tapi bagi kami para murid, ini malapetaka. Tuduhan tidak mau menerima pelajaran selanjutnya dan tuduhan tidak mengingatkan jam pelajaran olahraga sudah melebihi batas akan dilayangkan kepada kami.



“Hei kamu!”


Tuh kan! Belum apa-apa sudah ada yang memanggil. Ini Suara orang Dewasa. Aku celingukan. Hanya aku yang sedang lewat di tengah lapangan, dan seorang guru berdiri di seberang sana. di dekat tiang bendera. Aku mendekati guru itu dengan perasaan was-was dicampur sedikit perasaan dongkol.


“Ya Pak?” sahutku berusaha sesopan mungkin.
“Bagaimana ini?”
Bagaimana ini apa? Aku menggerutu dalam hati.
“Kenapa kalian baru selesai olahraganya sekarang? Belum lagi ganti pakaian. Bilang sama ketua kelas kalian, bapak tidak mengajar hari ini. Tidak mungkin kan bapak cuma mengisi lima belas menit.”
“Iya Pak.”
“Ya udah sana!”
Sshhh! Paling tidak sebelum kena sembur aku ingin rasanya menegak seteguk air dingin. Hhhaah, ya sudahlah. Aku melangkah gontai ke arah kelas. Seorang teman sekelas menghampiriku.
“Kenapa?” tanyanya sambil menatapku.
“Engga, pak guru bilang tidak bisa ngajar kalau waktunya tinggal lima belas menit begini, jadi dia tidak mengajar hari ini. Pake rada marah segala pula!” kataku sedikit emosi.
“Harusnya dia kan marah sama guru olahraga, bukan kita,” suara temanku yang bernama Dika itu meninggi.
“Eh?” aku terkesiap dengan respon emosinya, “Tak apalah. Biarkan saja. Yuk beberes. Pak Guru tidak ngajar kan bagus juga, bisa lama-lama di kantin kan enak. Yuk ah,” aku melempar senyumku padanya. Kami berjalan beriringan ke dalam kelas. Ini sebenarnya agak terasa aneh. Aku menoleh pada Dika. Dika sedang berjalan seperti biasa dan menatap lurus ke depan. Tapi perasaanku aneh. Aku merasa sepertinya tekanan udara di sekitarku turun dari satu atmosfer. Tapi tidak merasa risih. Dibilang nyaman juga tidak. Tapi ini belum pernah aku alami, “Dika, aku kesana dulu ya!” ia mengangguk. Aku menjauh. Pergi ke tempat teman-teman lain berganti pakaian. Tekanan itu hilang. Dan aku melupakannya.
Sejak saat itu, setiap aku berjalan atau berada di sekitar Dika, aku selalu merasakan kembali perasaan seperti berada di daerah yang tekanan atmosfernya kurang dari satu. Seperti sedang berada di puncak gunung. Tapi tidak menyesakkan. Ada yang salah ya dengan Dika? Apa dia sedang diikuti roh jahat? Dan karena aku ini peka, jadi aku juga bisa ikut merasakannya. Aku berfikir dalam-dalam.
“Miya, aku ke kantin dulu ya?” waiisssh, aku terkesiap mendengar suara itu.
“Ya? Ha ah iya?” aku tersenyum canggung. Eh tapi kenapa anak orang ke kantin aja pakai minta izin? Dan, hey! Kenapa minta izin padaku?
“Jah! Tuh kan bener kecurigaanku?” Yahe yang ada disebelahku bersorak.
“Itu beneran Dika tuh tadi?”
“Sadar kagak sih kamu, ini sudah keberapa kalinya dia minta izin kalau mau kemana-mana sama kamu. Sadar kagak sih kamu kalau setiap selese ulangan dia selalu mampir kesini? Tanya nilailah, tanya kamu bisa jawab atau tidaklah, tanya ini, tanya itu. Setiap pagi juga dia mampir ke depan bangkumu ini sekedar sapa basa-basi. Sadar?”
What?! Ke berapa kali? Sudah sering donk! Wasss! Prememories!, “Masak?”
“Cieyah! Kayaknya Dika suka loh sama kamu tuh. Coba lihat aja cara dia bersikap di depanmu. Coba perhatiin deh mulai dari sekarang!”
“Suka? Dia suka? Bisa? Walaupun sudah hampir tiga tahun sekelas bareng, tapi aku dan dia kan jarang bicara juga. Bagaimana bisa?”
Dan satu hal lagi. Aku sudah dari dulu memang tidak respek sama Dika. Dulu waktu kelas satu, aku dan dia pernah hampir ikut lomba busana bersama. Tapi dia menolak mentah-mentah jika harus berpasangan denganku. Menolak dengan gaya angkuhnya itu. Berkata tidak dengan tegas dan kasar di depan mata kepalaku sendiri. Ass! Siapa kamu, beraninya menolakku! Siapa kamu beraninya membuatku malu begini di depan banyak orang? Sehebat apa kamu, sampai tidak mau dipasangkan denganku? Egoku berjalan. Mentang-mentang pernah juara lomba tingkat, dia jadi belagu begitu. Ini kan demi kelas, bukan demi aku! Bodoh! Kala itu aku menatap punggungnya yang menjauh setelah penolakan itu dengan mata berair. Aku geram tapi tidak bisa melawan lebih dari ini. Sejak itu aku ogah-ogahan kalau disuruh berhubungan dengan Dika.
“Ah! Bullshit sama love in the first seen! Cinta itu karena terbiasa.”
Aku terbahak, “Anak SMP jaman kapan yang ucapannya dewasa seperti itu?” dan Yahe juga ikutan tergelak.
“Ini kan udah jadi gosip terselubung? Dika suka kamu.”
“Ha? Kok bisa? Kok aku tidak tahu?”
“Diselubungi, karena temen-temen tidak mau menyakiti hati Ega. Gosip Ega sama kamu pacaran kan gosip permanen. Permanen karena salah satu dari bahan gosip itu emang beneran suka.”
“Iseng sekali. Lagipula mana ada gelagat Ega suka sama aku?”
“Mana ada gelagat?” Yahe memutar bola matanya lebay, “Emang kamu tidak merasakan sama sekali tuh perhatian dia?” aku hanya menjawab dengan menggedigkan bahu. Whateverlah!
Aku ini, gadis SMP biasa yang agak konvensional. Karena suatu hal di masa lalu, aku pun mencetuskan tekadku untuk tidak akan pernah pacaran sampai aku berumur tujuh belas tahun nanti. Secara otomatis jika ada orang dengan gelagat suka padaku mendekati, maka aku akan mulai menjauh. Mulai jaga jarak. Aku jadi tidak banyak bicara. Sering pura-pura tidak melihat. Tidak berusaha menatap. Pokoknya berusaha menjauhi setiap konfrontasi dalam bentuk apapun.
Lama aku sudah tidak mempedulikan Dika dan segala macam tentang yang kata teman-teman itu namanya ‘pertunjukkan rasa sukanya padaku’. Aku bukan orang yang kejam dan drastis mengacuhkannya begitu saja. Aku masih ingat sopan-santun dan nama baik. Jadi aku masih tetap bertegur sapa, namun tidak akan memulai duluan jika tidak dalam keadaan memang harus membalas.
Suatu hari, aku teringat betapa sebentar lagi masa sekolah menengah pertama ini akan segera berakhir. Aku perlu kenangan. Yang terpikir hanya satu, meminta tandatangan teman-teman lengkap dengan nama mereka dan tulisan mereka. Di waktu istirahat aku mulai menyebar halaman belakang buku Kewarganegaraanku yang sudah tergambar kotak-kotak besar. Sebagian besar hanya teman gadis yang ada. Tanpa kusadari ada dua orang lagi yang sudah ada di kelas sejak tadi.
“Miya! Itu ada Arya sama Dika. Kamu tidak minta sama mereka juga?”
Aku menoleh refleks kearah Dika dan Arya. Seketika wajahku memerah. Bodohnya. Aku berjalan canggung kearah mereka. Menyodorkan bukuku dan berkata, “Tanda tangani ya, pake kenang-kenangan,” tidak jelas aku menunduk atau bahkan mendongakkan kepalaku. Yang kuingat hanya satu, sialan itu ya siapa itu yang nyuruh  aku minta tanda-tangan kesini? Aku jadi rikuh, canggung begini!
Sambil membubuhkan tanda tangan Dika bertanya, “Kok minta tanda tangan?” tanyanya sambil tersenyum manis padaku. Oh Tuhan, jaga pertahanan tekadku!, “Mau sekolah diluar kota ya?”
Aku tersenyum juga dan mengeleng keras, tanganku basah karena keringat, “Engga. Aku sekolah disini. Tidak keluar kota. Makasi ya!” aku segera berbalik dan hendak kembali ke tempat dudukku.
“Lah! Dika aja dimintain tanda tangan, Miya? Aku gimana?” teriakan lantang Arya membuatku mematung. Aku berbalik, tersenyum meringis dan menyerahkan bukuku, “Dimana nih?” aku menunjuk dimana-mana, “Dimana?” badanku sudah panas dingin.
“Dimana aja boleh,” jawabku lemas. Tolong donk peluh ini jangan mengucur deras begini!
“Dika aja yang diinget, aku engga,” goda Arya.
Aku kembali meringis, “Sorry lupa,” aku menoleh sekilas kearah Dika. Ah ya Tuhan, kenapa dia harus tersenyum sedewasa itu sih? Senyuman penuh permakluman. Ketahuan banget ya aku terlanjur salah tingkah? Ketahuan banget ya aku nervous minta tandatangannya Dika? Hiks. Harga diriku mencelos ke inti bumi. Aku segera berjalan ke tempat dudukku. Duduk. Diam. Seseorang masuk ke dalam kelas. Ega. Aku menatapnya. Dia menatapku sedih. What’s going on? What the hell? Oke semua kata-kata yang sebenarnya aku juga tidak begitu pahami itu bersliweran dalam otakku. Ada apa dengan tatapanmu itu hey Boy?
Sudahlah. Jangan mencoba dulu karena kamu jelas tidak akan mencoba meraih ataupun menggenggam apapun. Yang menggenggam saja bisa terluka apalagi kamu yang hanya bisa melihat dan merasakan. Cinta itu indah tapi menyakitkan. Ingatku terlebih untuk diri sendiri.
Beberapa bulan berlalu begitu saja. Waktu ujian nasional sudekat. Tidak terasa. Saking dekatnya sekarang aku sudah duduk di bangku yang bertuliskan nomor ujianku. Terakhir berhembus kabar kalau Dika –aihh kenapa harus Dika yang kusebut didetik jelang ujian begini sih?– sedang didekati oleh temanku yang bernama Wika. Dan parahnya, selama ujian pemantapan kemarin, Wika curhat soal Dikanya ya sama aku. Dia bilang dia sayang sama Dika ternyata. Ugh! Dengan susah payah roti itu tertelan. Hello, kenapa musti aku?
Bahuku ditoel dari belakang, “Ya Wik?”
“Entar inget kerja sama!”
“Yep! Eh gimana kelanjutannya?” aku menaik-turunkan alisku, menggodanya.
“Apaan sih kamu?” katanya tertawa.
Aih, gadis yang sedang jatuh cinta memang terlihat lebih bersinar, cantik dan lembut, “Udah tau dia sayang kamu atau tidak? Gosip tentangku dan dia? Jangan sampe yang kayak begituan ngalangin niatmu.”
“Aku belum berani lah tanya dia sayang aku atau tidak. Soal gosip sama kamu, dia bilang itu cuma keisengan temen-temen aja,” syukurlah cuma gosip. Aku tidak perlu merasa tidak enak lagi karena takut dia sakit hati kujauhi. Kalau memang tidak ada perasaan tentu dia tidak akan peduli aku mau jauhi atau tidak kan? Orang seperti dia, boro-boro sakit hati sama gadis tidak penting yang menjauhinya, ngerasain rasa sakit hatiku sama dia waktu kelas satu dulu aja sepertinya juga tidak.
Sering aku melihat Dika dan Wika duduk bersama di kantin sekolah. Berduaan bicara panjang lebar dan tertawa bersama. Aku melirik dan tertunduk lagi. Melirik sekilas dan segera melarikan pandangan kearah lain. Aku melirik dan pandanganku bertemu dengan Dika. Ass! Aku gelagapan sedikit, “Hai Wik!” sapaku pada Wika, menghilangkan jejak gelagapan.
“Hai! Sini duduk sini yuk!” kata Wika.
“Aku mau kesana buru-buru. Yuk Wik!”
“Yoi!”
Mataku menoleh padanya, “Yuk Dika!” ia hanya tersenyum. Senyumnya yang penuh permakluman itu loh. Kenapa lembut sekali? Kenapa dewasa sekali? Senyuman getir sebagai balasan terkembang di bibirku. Hatiku mencelos dan rasanya sakit. Entah untuk apa rasa sakit ini. Aku berjanji lebih baik jam-jam segini aku tidak usah ke kantin sajalah dulu.
“Aku mau bilang aku sayang sama Dika nanti,” suatu pagi Wika berkata seperti ini padaku dan itu cukup mengejutkan. Entah petir darimana, tapi suara petir tiba-tiba menggelegar dalam otakku.
“Ais! Sukses! Besok kasitau hasilnya!” Wika mengangguk riang menerima keantusiasanku.
Dan kemudian, “Dia cuma nganggep aku teman,” Wika berkata lemas, “Dia juga bilang tetap akan menjadi temanku walaupun aku bilang sayang sama dia. Ada yang dia sukai katanya.”
“Ada yang dia sukai? Wah! Siapa?” ups! Aku terlalu ingin tahu! Aku keceplosan!
Wika hanya menatapku getir. Aku balik menatapnya, pandanganku bingung. Kenapa dia menatapku begitu? Dia menatapku tanpa senyum. Rasanya seperti ada rasa iri disitu. Itupun kalau penilaianku tidak salah. Wika hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku dan kembali sibuk dengan urusannya. Aku mematung. Memang apa yang terjadi. Apa Dika minta dia merahasiakannya? Pertanyaan bodoh! Ya iyalah rahasia! Tapi kenapa Wika tidak seperti biasanya? Kenapa dia menatapku seperti itu. Rasanya sakit menerima tatapan itu.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku heran, walaupun Dika bilang suka sama orang lain, tapi Wika tetap saja rajin berduaan dengan Dika di kantin sekolah. Kalau Wika tetap bersikeras ya aku wajar. Namanya juga usaha. Tapi Dika? Kenapa mau? Kalau sudah ada yang disukai kenapa masih mau diajak berduaan sama Wika? Memberikan kesempatan tanpa hasil yang jelas hanya akan menyakiti Wika. Ya kan? Aku menatap pasanganku itu. Hey sakit mataku lihatnya tau!
Aku heran! Sudah kubilang aku heran! Dan sial! Pandanganku bertemu lagi dengan Dika. Ia tersenyum lagi, dengan senyuman itu. Aduh! Please jangan senyuman itu lagi. Aku pasti membalas senyumanmu kalau begitu. Senyumanmu itu menularkan rasa yang aneh tahu! Sial!
Takdir berkata lain. Nyatanya, nilai ujian Dika jeblok. Aku tahu dia orang jujur dan perfeksionis. Pasti dia sangat percaya diri waktu ujian kemarin. Dia kerjakan sendiri. Bersyukur sekali dia lulus walaupun nilai selain matematika agak-agak gimana gitu. Tapi aku senang dia lulus. Sayangnya, akibat nilainya itu, kami tidak bisa berada dalam satu sekolah menengah atas yang sama.
            
Enam bulan berlalu. Enam bulan yang menyedihkan. Tragedi terjadi di kelasku. Kemoceng kenangan itu tergeletak disana, diatas meja guru itu. Kemoceng yang akan mengingatkan kami tentang tragedi itu. Tragedi cinta yang hampir merenggut nyawa teman sekelas terbaikku.
Tahun ajaran baru di kelas satu ini. Rolling kelas membuatku harus pindah belajar ke kelas unggulan. Penyesuaian baru lagi. Sebenarnya ini terasa melelahkan. Semangatku sudah memudar. Penyemangatku hilang bersamaan dengan menjadi kenangannya kisah kemoceng itu. Kurasa masa SMA yang katanya selalu menyenangkan baru saja berakhir bagiku.
Aku berbaris dengan gerakan gontai. Pak! Bisa tidak kami tidak dijemur ditengah lapangan yang terik ini? Mataku berkeliling melihat posisi berbaris yang cukup teduh, dan niatku kemudian adalah menyelundupkan diri di barisan kelas itu. Mencari teduh. Wah! Bukan teduh yang kulihat, melainkan Dika dan Arya. Mereka! Bukannya di sekolah sebelah? Kenapa disini? Mataku berkeliling juga. Banyak tambahan anak baru di kelas dua ini. Jadi mereka itu murid pindahan? Kya! Aku hampir berteriak kegirangan. Eh tunggu dulu. Image es batuku mana? Norak! Ayo pose lagi!
Tidak! Ini tidak seperti yang kubayangkan. Benarkan ini Dika? Kurasa sekarang ini keadaan sedang berbalik. Bukan aku lagi yang mengacuhkannya. Bukan aku lagi yang berpura-pura tidak menyadari kehadirannya. Bukan aku lagi yang menhindarinya. Tapi dia. Dan ini lebih ekstrem. Bisa tidak ya dia tidak usah menatapku dengan tatapan penuh benci seperti itu? Ya! Aku frustasi melihatnya! Lihatlah caranya menatapku. Matanya menatapku dalam amarah. Jangan harap ada senyuman disitu. Jangan juga bilang aku yang salah lihat! Masalahnya setiap aku bertemu dengannya ya hal itu yang terjadi. What’s going on? Oh please deh Boy, apa salahku padamu?
Aku sedih. Apa tidak cukup kisah kemoceng itu saja? Kenapa harus kisah senyuman Dika itu hilang juga dan menjadi kenangan? Aku singgah ke mantan kelasku. Berdiri di pinggir jendela kelas, menatap keluar kearah tempat parkir sekolah. Aku melihat Dika disana. Baru sampai dan sedang parkir. Dia masih tetap disana, bercengkrama dengan temannya. Aku mengalihkan pandangan. Menyapa beberapa teman yang baru datang.
“Aku izin nongrong disini dulu ya!”
Tatapanku beralih ke kemoceng itu. Mataku memanas. Apa yang kupikirkan? Aku kembali menatapk keluar, menatap Dika dalam diam. Membiarkan diriku menikmati setiap gerakannya. Dia tersenyum. Senyum yang sudah tidak pernah terkembang lagi untukku. Aku menatapnya dalam senduku. Dalam rinduku. Iyakah aku merindukan senyuman yang penuh permakluman itu. Jujur saja, aku senang dan sangat menghargai sekali orang yang mau memaklumi setiap perbuatan bodohku. Memaklumi kekakuanku dan memahami maksudku yang sebenarnya tidak ingin berbuat sekejam itu. Tenang Miya, everything gonna be allright!
Aku kembali menatapnya. Menatapnya selagi aku bisa, setiap aku ke kelas ini, sampai akhirnya aku tidak diperbolehkan lagi masuk ke ruangan kelas ini dan menatapnya dari balik jendela kaca ini.
Tidak kusangka tahun-tahun bisa berlalu begitu cepat. Sekarang aku sudah kelas tiga. Karena cerita ini hanya tentang senyuman itu, maka aku hanya akan membahas tentangnya. Waktu memang ampuh menyembuhkan luka. Luka fisik maupun psikis. Aku sudah tidak memikirkan Dika lagi. Dia sekarang, humm, bagaimana ya? Dika sempat pacaran denganWika. Cukup lama dan aku sangat tahu Wika begitu menyayangi Dika. Dia memperlakukannya dengan sayang. Namun terjadi sesuatu dan Wika terpaksa putus dengan Dika. Dikanya selingkuh. Aku tidak tahu bagaimana bisa cinta mengalir diantara Dika dan selingkuhannya itu. Ini terasa ganjil dan telenovela sekali. Hubungan mereka sedikit menggelikan. Bagaimana Dika bisa jatuh cinta dengan gadis itu?
Sayangnya aku sudah tidak peduli lagi. Dia sibuk dengan urusannya dan begitu pula denganku. Tidak pernah terbayang jika dulu kami pernah berteman dan bicara banyak. Lagaknya seperti sama sekali tidak pernah kenal denganku. Tidak masalah. Aku tidak peduli.
Pada saat ulang tahun sekolah yang pertama kali sejak aku lulus sekolah menengah atas, aku datang lagi ke sekolah. Walaupun seharusnya aku perlu datang lagi kesini. Aku menatap sekeliling dan mengenang masa lalu. Aku melihat Dika disana, di depan ruang kelasnya. Aku menatapnya tanpa ekspresi. Aku ragu mengumbar senyumku karena takut diabaikan. Aku menatapnya sebentar berharap dia tahu apa yang ingin kuucapkan lewat tatapanku.
Bahagialah dengan hidupmu, jangan menjerumuskan diri kearah penyesalan. Aku menyayangimu sebagai seorang kawan yang baik dan berterima kasih dengan munculnya senyumanmu yang dulu itu. Terima kasih telah mencipratkan warna merah muda dalam kanvas hidupku. Sekarang jalan kita sudah benar-benar berbeda dan mungkin tidak akan ada jalan kita yang segaris sejalan lagi. Sampai jumpa ya. Terima kasih. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tahu kamu memahami apa yang kamu ingin sampaikan dengan kata-kata. Aku tahu kamu orang baik dan tidak akan bersikap konyol dan kekanakan dengan berkomentar yang tidak sepantasnya. Aku percaya padamu, komentator.