Panas sekali pagi ini padahal belum jam seberapa. Guru olahraga kami hari ini begitu bersemangat, sampai-sampai dia lupa kalau jam mengajarnya sudah lewat lima belas menit. Baginya–guru olahraga kami–hal ini enteng. Tapi bagi kami para murid, ini malapetaka. Tuduhan tidak mau menerima pelajaran selanjutnya dan tuduhan tidak mengingatkan jam pelajaran olahraga sudah melebihi batas akan dilayangkan kepada kami.
“Hei kamu!”
Tuh kan! Belum apa-apa sudah ada yang memanggil. Ini Suara orang Dewasa. Aku celingukan. Hanya aku yang sedang lewat di tengah lapangan, dan seorang guru berdiri di seberang sana. di dekat tiang bendera. Aku mendekati guru itu dengan perasaan was-was dicampur sedikit perasaan dongkol.
“Ya Pak?” sahutku berusaha sesopan mungkin.
“Bagaimana ini?”
Bagaimana ini apa? Aku menggerutu dalam hati.
“Kenapa kalian baru selesai olahraganya sekarang?
Belum lagi ganti pakaian. Bilang sama ketua kelas kalian, bapak tidak mengajar
hari ini. Tidak mungkin kan bapak cuma mengisi lima belas menit.”
“Iya Pak.”
“Ya udah sana!”
Sshhh! Paling tidak sebelum kena sembur aku ingin
rasanya menegak seteguk air dingin. Hhhaah, ya sudahlah. Aku melangkah gontai
ke arah kelas. Seorang teman sekelas menghampiriku.
“Kenapa?” tanyanya sambil menatapku.
“Engga, pak guru bilang tidak bisa ngajar kalau
waktunya tinggal lima belas menit begini, jadi dia tidak mengajar hari ini.
Pake rada marah segala pula!” kataku sedikit emosi.
“Harusnya dia kan marah sama guru olahraga, bukan
kita,” suara temanku yang bernama Dika itu meninggi.
“Eh?” aku terkesiap dengan respon emosinya, “Tak
apalah. Biarkan saja. Yuk beberes. Pak Guru tidak ngajar kan bagus juga, bisa
lama-lama di kantin kan enak. Yuk ah,” aku melempar senyumku padanya. Kami
berjalan beriringan ke dalam kelas. Ini sebenarnya agak terasa aneh. Aku
menoleh pada Dika. Dika sedang berjalan seperti biasa dan menatap lurus ke
depan. Tapi perasaanku aneh. Aku merasa sepertinya tekanan udara di sekitarku
turun dari satu atmosfer. Tapi tidak merasa risih. Dibilang nyaman juga tidak.
Tapi ini belum pernah aku alami, “Dika, aku kesana dulu ya!” ia mengangguk. Aku
menjauh. Pergi ke tempat teman-teman lain berganti pakaian. Tekanan itu hilang.
Dan aku melupakannya.
Sejak saat itu, setiap aku berjalan atau berada di
sekitar Dika, aku selalu merasakan kembali perasaan seperti berada di daerah
yang tekanan atmosfernya kurang dari satu. Seperti sedang berada di puncak
gunung. Tapi tidak menyesakkan. Ada yang salah ya dengan Dika? Apa dia sedang
diikuti roh jahat? Dan karena aku ini peka, jadi aku juga bisa ikut
merasakannya. Aku berfikir dalam-dalam.
“Miya, aku ke kantin dulu ya?” waiisssh, aku
terkesiap mendengar suara itu.
“Ya? Ha ah iya?” aku tersenyum canggung. Eh tapi
kenapa anak orang ke kantin aja pakai minta izin? Dan, hey! Kenapa minta izin
padaku?
“Jah! Tuh kan bener kecurigaanku?” Yahe yang ada
disebelahku bersorak.
“Itu beneran Dika tuh tadi?”
“Sadar kagak sih kamu, ini sudah keberapa kalinya
dia minta izin kalau mau kemana-mana sama kamu. Sadar kagak sih kamu kalau
setiap selese ulangan dia selalu mampir kesini? Tanya nilailah, tanya kamu bisa
jawab atau tidaklah, tanya ini, tanya itu. Setiap pagi juga dia mampir ke depan
bangkumu ini sekedar sapa basa-basi. Sadar?”
What?! Ke berapa kali? Sudah sering donk! Wasss! Prememories!, “Masak?”
“Cieyah! Kayaknya Dika suka loh sama kamu tuh. Coba
lihat aja cara dia bersikap di depanmu. Coba perhatiin deh mulai dari
sekarang!”
“Suka? Dia suka? Bisa? Walaupun sudah hampir tiga
tahun sekelas bareng, tapi aku dan dia kan jarang bicara juga. Bagaimana bisa?”
Dan satu hal lagi. Aku sudah dari dulu memang tidak
respek sama Dika. Dulu waktu kelas satu, aku dan dia pernah hampir ikut lomba
busana bersama. Tapi dia menolak mentah-mentah jika harus berpasangan denganku.
Menolak dengan gaya angkuhnya itu. Berkata tidak dengan tegas dan kasar di
depan mata kepalaku sendiri. Ass! Siapa kamu, beraninya menolakku! Siapa kamu
beraninya membuatku malu begini di depan banyak orang? Sehebat apa kamu, sampai
tidak mau dipasangkan denganku? Egoku berjalan. Mentang-mentang pernah juara
lomba tingkat, dia jadi belagu begitu. Ini kan demi kelas, bukan demi aku!
Bodoh! Kala itu aku menatap punggungnya yang menjauh setelah penolakan itu
dengan mata berair. Aku geram tapi tidak bisa melawan lebih dari ini. Sejak itu
aku ogah-ogahan kalau disuruh berhubungan dengan Dika.
“Ah! Bullshit
sama love in the first seen! Cinta
itu karena terbiasa.”
Aku terbahak, “Anak SMP jaman kapan yang ucapannya
dewasa seperti itu?” dan Yahe juga ikutan tergelak.
“Ini kan udah jadi gosip terselubung? Dika suka
kamu.”
“Ha? Kok bisa? Kok aku tidak tahu?”
“Diselubungi, karena temen-temen tidak mau menyakiti
hati Ega. Gosip Ega sama kamu pacaran kan gosip permanen. Permanen karena salah
satu dari bahan gosip itu emang beneran suka.”
“Iseng sekali. Lagipula mana ada gelagat Ega suka
sama aku?”
“Mana ada gelagat?” Yahe memutar bola matanya lebay,
“Emang kamu tidak merasakan sama sekali tuh perhatian dia?” aku hanya menjawab
dengan menggedigkan bahu. Whateverlah!
Aku ini, gadis SMP biasa yang agak konvensional.
Karena suatu hal di masa lalu, aku pun mencetuskan tekadku untuk tidak akan
pernah pacaran sampai aku berumur tujuh belas tahun nanti. Secara otomatis jika
ada orang dengan gelagat suka padaku mendekati, maka aku akan mulai menjauh.
Mulai jaga jarak. Aku jadi tidak banyak bicara. Sering pura-pura tidak melihat.
Tidak berusaha menatap. Pokoknya berusaha menjauhi setiap konfrontasi dalam
bentuk apapun.
Lama aku sudah tidak mempedulikan Dika dan segala
macam tentang yang kata teman-teman itu namanya ‘pertunjukkan rasa sukanya
padaku’. Aku bukan orang yang kejam dan drastis mengacuhkannya begitu saja. Aku
masih ingat sopan-santun dan nama baik. Jadi aku masih tetap bertegur sapa,
namun tidak akan memulai duluan jika tidak dalam keadaan memang harus membalas.
Suatu hari, aku teringat betapa sebentar lagi masa
sekolah menengah pertama ini akan segera berakhir. Aku perlu kenangan. Yang terpikir
hanya satu, meminta tandatangan teman-teman lengkap dengan nama mereka dan
tulisan mereka. Di waktu istirahat aku mulai menyebar halaman belakang buku
Kewarganegaraanku yang sudah tergambar kotak-kotak besar. Sebagian besar hanya
teman gadis yang ada. Tanpa kusadari ada dua orang lagi yang sudah ada di kelas
sejak tadi.
“Miya! Itu ada Arya sama Dika. Kamu tidak minta sama
mereka juga?”
Aku menoleh refleks kearah Dika dan Arya. Seketika
wajahku memerah. Bodohnya. Aku berjalan canggung kearah mereka. Menyodorkan
bukuku dan berkata, “Tanda tangani ya, pake kenang-kenangan,” tidak jelas aku
menunduk atau bahkan mendongakkan kepalaku. Yang kuingat hanya satu, sialan itu
ya siapa itu yang nyuruh aku minta
tanda-tangan kesini? Aku jadi rikuh, canggung begini!
Sambil membubuhkan tanda tangan Dika bertanya, “Kok
minta tanda tangan?” tanyanya sambil tersenyum manis padaku. Oh Tuhan, jaga
pertahanan tekadku!, “Mau sekolah diluar kota ya?”
Aku tersenyum juga dan mengeleng keras, tanganku
basah karena keringat, “Engga. Aku sekolah disini. Tidak keluar kota. Makasi
ya!” aku segera berbalik dan hendak kembali ke tempat dudukku.
“Lah! Dika aja dimintain tanda tangan, Miya? Aku
gimana?” teriakan lantang Arya membuatku mematung. Aku berbalik, tersenyum meringis
dan menyerahkan bukuku, “Dimana nih?” aku menunjuk dimana-mana, “Dimana?”
badanku sudah panas dingin.
“Dimana aja boleh,” jawabku lemas. Tolong donk peluh
ini jangan mengucur deras begini!
“Dika aja yang diinget, aku engga,” goda Arya.
Aku kembali meringis, “Sorry lupa,” aku menoleh sekilas kearah Dika. Ah ya Tuhan, kenapa
dia harus tersenyum sedewasa itu sih? Senyuman penuh permakluman. Ketahuan
banget ya aku terlanjur salah tingkah? Ketahuan banget ya aku nervous minta tandatangannya Dika? Hiks.
Harga diriku mencelos ke inti bumi. Aku segera berjalan ke tempat dudukku.
Duduk. Diam. Seseorang masuk ke dalam kelas. Ega. Aku menatapnya. Dia menatapku
sedih. What’s going on? What the hell?
Oke semua kata-kata yang sebenarnya aku juga tidak begitu pahami itu
bersliweran dalam otakku. Ada apa dengan tatapanmu itu hey Boy?
Sudahlah. Jangan mencoba dulu karena kamu jelas
tidak akan mencoba meraih ataupun menggenggam apapun. Yang menggenggam saja
bisa terluka apalagi kamu yang hanya bisa melihat dan merasakan. Cinta itu
indah tapi menyakitkan. Ingatku terlebih untuk diri sendiri.
Beberapa bulan berlalu begitu saja. Waktu ujian nasional
sudekat. Tidak terasa. Saking dekatnya sekarang aku sudah duduk di bangku yang
bertuliskan nomor ujianku. Terakhir berhembus kabar kalau Dika –aihh kenapa
harus Dika yang kusebut didetik jelang ujian begini sih?– sedang didekati oleh
temanku yang bernama Wika. Dan parahnya, selama ujian pemantapan kemarin, Wika
curhat soal Dikanya ya sama aku. Dia bilang dia sayang sama Dika ternyata. Ugh!
Dengan susah payah roti itu tertelan. Hello,
kenapa musti aku?
Bahuku ditoel dari belakang, “Ya Wik?”
“Entar inget kerja sama!”
“Yep! Eh gimana kelanjutannya?” aku menaik-turunkan
alisku, menggodanya.
“Apaan sih kamu?” katanya tertawa.
Aih, gadis yang sedang jatuh cinta memang terlihat
lebih bersinar, cantik dan lembut, “Udah tau dia sayang kamu atau tidak? Gosip
tentangku dan dia? Jangan sampe yang kayak begituan ngalangin niatmu.”
“Aku belum berani lah tanya dia sayang aku atau
tidak. Soal gosip sama kamu, dia bilang itu cuma keisengan temen-temen aja,”
syukurlah cuma gosip. Aku tidak perlu merasa tidak enak lagi karena takut dia
sakit hati kujauhi. Kalau memang tidak ada perasaan tentu dia tidak akan peduli
aku mau jauhi atau tidak kan? Orang seperti dia, boro-boro sakit hati sama
gadis tidak penting yang menjauhinya, ngerasain rasa sakit hatiku sama dia waktu
kelas satu dulu aja sepertinya juga tidak.
Sering aku melihat Dika dan Wika duduk bersama di
kantin sekolah. Berduaan bicara panjang lebar dan tertawa bersama. Aku melirik
dan tertunduk lagi. Melirik sekilas dan segera melarikan pandangan kearah lain.
Aku melirik dan pandanganku bertemu dengan Dika. Ass! Aku gelagapan sedikit,
“Hai Wik!” sapaku pada Wika, menghilangkan jejak gelagapan.
“Hai! Sini duduk sini yuk!” kata Wika.
“Aku mau kesana buru-buru. Yuk Wik!”
“Yoi!”
Mataku menoleh padanya, “Yuk Dika!” ia hanya
tersenyum. Senyumnya yang penuh permakluman itu loh. Kenapa lembut sekali?
Kenapa dewasa sekali? Senyuman getir sebagai balasan terkembang di bibirku. Hatiku
mencelos dan rasanya sakit. Entah untuk apa rasa sakit ini. Aku berjanji lebih
baik jam-jam segini aku tidak usah ke kantin sajalah dulu.
“Aku mau bilang aku sayang sama Dika nanti,” suatu
pagi Wika berkata seperti ini padaku dan itu cukup mengejutkan. Entah petir
darimana, tapi suara petir tiba-tiba menggelegar dalam otakku.
“Ais! Sukses! Besok kasitau hasilnya!” Wika
mengangguk riang menerima keantusiasanku.
Dan kemudian, “Dia cuma nganggep aku teman,” Wika
berkata lemas, “Dia juga bilang tetap akan menjadi temanku walaupun aku bilang
sayang sama dia. Ada yang dia sukai katanya.”
“Ada yang dia sukai? Wah! Siapa?” ups! Aku terlalu
ingin tahu! Aku keceplosan!
Wika hanya menatapku getir. Aku balik menatapnya,
pandanganku bingung. Kenapa dia menatapku begitu? Dia menatapku tanpa senyum.
Rasanya seperti ada rasa iri disitu. Itupun kalau penilaianku tidak salah. Wika
hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku dan kembali sibuk dengan
urusannya. Aku mematung. Memang apa yang terjadi. Apa Dika minta dia
merahasiakannya? Pertanyaan bodoh! Ya iyalah rahasia! Tapi kenapa Wika tidak
seperti biasanya? Kenapa dia menatapku seperti itu. Rasanya sakit menerima
tatapan itu.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku heran, walaupun
Dika bilang suka sama orang lain, tapi Wika tetap saja rajin berduaan dengan
Dika di kantin sekolah. Kalau Wika tetap bersikeras ya aku wajar. Namanya juga
usaha. Tapi Dika? Kenapa mau? Kalau sudah ada yang disukai kenapa masih mau
diajak berduaan sama Wika? Memberikan kesempatan tanpa hasil yang jelas hanya
akan menyakiti Wika. Ya kan? Aku menatap pasanganku itu. Hey sakit mataku lihatnya
tau!
Aku heran! Sudah kubilang aku heran! Dan sial!
Pandanganku bertemu lagi dengan Dika. Ia tersenyum lagi, dengan senyuman itu. Aduh!
Please jangan senyuman itu lagi. Aku pasti membalas senyumanmu kalau begitu.
Senyumanmu itu menularkan rasa yang aneh tahu! Sial!
Takdir berkata lain. Nyatanya, nilai ujian Dika
jeblok. Aku tahu dia orang jujur dan perfeksionis. Pasti dia sangat percaya
diri waktu ujian kemarin. Dia kerjakan sendiri. Bersyukur sekali dia lulus
walaupun nilai selain matematika agak-agak gimana gitu. Tapi aku senang dia
lulus. Sayangnya, akibat nilainya itu, kami tidak bisa berada dalam satu
sekolah menengah atas yang sama.
Enam bulan berlalu. Enam bulan yang menyedihkan.
Tragedi terjadi di kelasku. Kemoceng kenangan itu tergeletak disana, diatas
meja guru itu. Kemoceng yang akan mengingatkan kami tentang tragedi itu. Tragedi
cinta yang hampir merenggut nyawa teman sekelas terbaikku.
Tahun ajaran baru di kelas satu ini. Rolling kelas membuatku harus pindah
belajar ke kelas unggulan. Penyesuaian baru lagi. Sebenarnya ini terasa
melelahkan. Semangatku sudah memudar. Penyemangatku hilang bersamaan dengan
menjadi kenangannya kisah kemoceng itu. Kurasa masa SMA yang katanya selalu
menyenangkan baru saja berakhir bagiku.
Aku berbaris dengan gerakan gontai. Pak! Bisa tidak kami
tidak dijemur ditengah lapangan yang terik ini? Mataku berkeliling melihat
posisi berbaris yang cukup teduh, dan niatku kemudian adalah menyelundupkan
diri di barisan kelas itu. Mencari teduh. Wah! Bukan teduh yang kulihat,
melainkan Dika dan Arya. Mereka! Bukannya di sekolah sebelah? Kenapa disini?
Mataku berkeliling juga. Banyak tambahan anak baru di kelas dua ini. Jadi
mereka itu murid pindahan? Kya! Aku hampir berteriak kegirangan. Eh tunggu
dulu. Image es batuku mana? Norak!
Ayo pose lagi!
Tidak! Ini tidak seperti yang kubayangkan. Benarkan
ini Dika? Kurasa sekarang ini keadaan sedang berbalik. Bukan aku lagi yang
mengacuhkannya. Bukan aku lagi yang berpura-pura tidak menyadari kehadirannya.
Bukan aku lagi yang menhindarinya. Tapi dia. Dan ini lebih ekstrem. Bisa tidak
ya dia tidak usah menatapku dengan tatapan penuh benci seperti itu? Ya! Aku
frustasi melihatnya! Lihatlah caranya menatapku. Matanya menatapku dalam
amarah. Jangan harap ada senyuman disitu. Jangan juga bilang aku yang salah
lihat! Masalahnya setiap aku bertemu dengannya ya hal itu yang terjadi. What’s going on? Oh please deh Boy, apa salahku padamu?
Aku sedih. Apa tidak cukup kisah kemoceng itu saja? Kenapa
harus kisah senyuman Dika itu hilang juga dan menjadi kenangan? Aku singgah ke
mantan kelasku. Berdiri di pinggir jendela kelas, menatap keluar kearah tempat
parkir sekolah. Aku melihat Dika disana. Baru sampai dan sedang parkir. Dia
masih tetap disana, bercengkrama dengan temannya. Aku mengalihkan pandangan.
Menyapa beberapa teman yang baru datang.
“Aku izin nongrong disini dulu ya!”
Tatapanku beralih ke kemoceng itu. Mataku memanas.
Apa yang kupikirkan? Aku kembali menatapk keluar, menatap Dika dalam diam.
Membiarkan diriku menikmati setiap gerakannya. Dia tersenyum. Senyum yang sudah
tidak pernah terkembang lagi untukku. Aku menatapnya dalam senduku. Dalam
rinduku. Iyakah aku merindukan senyuman yang penuh permakluman itu. Jujur saja,
aku senang dan sangat menghargai sekali orang yang mau memaklumi setiap
perbuatan bodohku. Memaklumi kekakuanku dan memahami maksudku yang sebenarnya
tidak ingin berbuat sekejam itu. Tenang Miya, everything gonna be allright!
Aku kembali menatapnya. Menatapnya selagi aku bisa,
setiap aku ke kelas ini, sampai akhirnya aku tidak diperbolehkan lagi masuk ke
ruangan kelas ini dan menatapnya dari balik jendela kaca ini.
Tidak kusangka tahun-tahun bisa berlalu begitu
cepat. Sekarang aku sudah kelas tiga. Karena cerita ini hanya tentang senyuman
itu, maka aku hanya akan membahas tentangnya. Waktu memang ampuh menyembuhkan
luka. Luka fisik maupun psikis. Aku sudah tidak memikirkan Dika lagi. Dia
sekarang, humm, bagaimana ya? Dika sempat pacaran denganWika. Cukup lama dan
aku sangat tahu Wika begitu menyayangi Dika. Dia memperlakukannya dengan
sayang. Namun terjadi sesuatu dan Wika terpaksa putus dengan Dika. Dikanya
selingkuh. Aku tidak tahu bagaimana bisa cinta mengalir diantara Dika dan
selingkuhannya itu. Ini terasa ganjil dan telenovela sekali. Hubungan mereka
sedikit menggelikan. Bagaimana Dika bisa jatuh cinta dengan gadis itu?
Sayangnya aku sudah tidak peduli lagi. Dia sibuk
dengan urusannya dan begitu pula denganku. Tidak pernah terbayang jika dulu
kami pernah berteman dan bicara banyak. Lagaknya seperti sama sekali tidak pernah
kenal denganku. Tidak masalah. Aku tidak peduli.
Pada saat ulang tahun sekolah yang pertama kali sejak
aku lulus sekolah menengah atas, aku datang lagi ke sekolah. Walaupun
seharusnya aku perlu datang lagi kesini. Aku menatap sekeliling dan mengenang
masa lalu. Aku melihat Dika disana, di depan ruang kelasnya. Aku menatapnya
tanpa ekspresi. Aku ragu mengumbar senyumku karena takut diabaikan. Aku
menatapnya sebentar berharap dia tahu apa yang ingin kuucapkan lewat tatapanku.
Bahagialah dengan hidupmu, jangan menjerumuskan diri
kearah penyesalan. Aku menyayangimu sebagai seorang kawan yang baik dan
berterima kasih dengan munculnya senyumanmu yang dulu itu. Terima kasih telah
mencipratkan warna merah muda dalam kanvas hidupku. Sekarang jalan kita sudah
benar-benar berbeda dan mungkin tidak akan ada jalan kita yang segaris sejalan
lagi. Sampai jumpa ya. Terima kasih. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Aku tahu kamu memahami apa yang kamu ingin sampaikan dengan kata-kata. Aku tahu kamu orang baik dan tidak akan bersikap konyol dan kekanakan dengan berkomentar yang tidak sepantasnya. Aku percaya padamu, komentator.